•.¸♡ Hello, My Dear Enemy ♡¸.•
Setelah selesai makan siang Lena tidak benar-benar pergi, dirinya harus kembali menemani Avin yang kembali terbangun dan menangis histeris mencari keberadaanya yang tidak ada di samping bocah itu. Meksipun Lena sudah begitu lelah dan mengantuk, tapi mana bisa ia menolak permintaan ibu dari si bocah yang kembali memohon padanya. Jadi, dengan terpaksa Lena kembali mengiyakan dengan Alan yang sama lelahnya seperti dirinya. Keduanya saat ini tengah berusaha menidurkan kembali Avin dengan Lena yang mengusap lembut surai hitam bocah itu dan Alan yang tengah membacakan cerita dengan sesekali menguap karna merasa begitu mengantuk.
"Len, belum tidur?" tanya Alan setelah dirinya menyelesaikan satu cerita untuk ia ceritakan pada Avin. Lena yang paham jika pertanyaan yang Alan ajukan itu bukan untuknya melainkan untuk Avin itu menggeleng lelah dengan mata sayunya. "Masih anteng bocahnya," ucap Lena dengan pelan.
Alan menghela napas kasar, ia tenggelamkan wajahnya pada kasur dan kemudian kembali menatap pada Lena. "Geser dikit, mata gua udah gak kuat." Alan yang semula duduk di lantai kini berpindah ke atas kasur—duduk di samping Lena yang kini berada di tengah-tengah antara Alan dan Avin.
"Mau ngapain?" Lena menatap bingung pada Alan yang dengan santainya memejamkan mata dengan posisi pemuda itu yang duduk sama sepertinya.
"Tidur," jawab Alan dengan mata yang terpejam.
"Lo biarin gua nidurin Avin sendiri gitu?" tanya Lena yang diberi dengkusan kesal oleh Alan. "Gua ngantuk parah, Len. Pen tidur bentar," sahut Alan.
"Gua juga ngantuk! Bukan lo doang," balas Lena sambil menampar pelan pipi Alan agar pemuda itu terbangun.
"Kasih gua 10 menit buat tidur, nanti kalo Avin masih belum tidur ntar gantian lo lagi yang tidur," kata Alan dengan menatap Lena dengan tatapan memohon dan Lena dengan terpaksa mengiyakan, membiarkan Alan tidur dan setelahnya ia yang tidur.
Hingga sepuluh menit pun berlalu, seharusnya Lena membangunkan Alan dan diganti dirinya yang tidur tapi yang terjadi malah Lena yang ikut tertidur dengan kepalanya bersandar pada bahu Alan. Lena sudah sangat mengantuk hingga dalam sekejap ia langsung terlelap dalam bahu Alan.
Alan, pemuda itu tidak sepenuhnya terlelap. Dirinya hanya memejamkan matanya saja selama sepuluh menit itu hingga kini dirinya dibuat terkejut oleh Lena yang menjadikan pundaknya sebagai bantal. Alan membuka kembali kedua matanya, menoleh ke samping dan mendapati Lena yang tertidur begitu damai. Kemudian netranya teralihkan pada Avin yang tak kunjung tertidur, bocah itu malah menatapnya dengan pandangan polosnya.
"Tidur," titah Alan tanpa suara pada Avin. Avin yang mengerti itu malah menggeleng heboh, membuat Alan hanya bisa menghela napas lelah. Entah ala yang dimau adiknya itu, Alan sudah tidur peduli lagi, dirinya sama mengantuknya seperti Lena. Alan kembali memejamkan matanya dengan membiarkan Lena yang kembali menjadikan bahunya sebagai bantal.
•.¸♡ Hello, My Dear Enemy ♡¸.•
Lena mulai mengerjapkan matanya saat dering ponsel berhasil membangunkannya dari tidur. Dengan nyawanya yang masih setengah sadar, Lena mengambil ponsel yang tergeletak di sisi kasur lalu ia angkat panggilan yang masuk itu tanpa membaca nama yang tertera pada layar ponsel.
"Hallo, Lena di sini—"
"Hah? Demi apa? Anjing, cok! Lo lagi ngapain sama Alan malem-malem gini Lena!"
Dengan cepat Lena menjauhkan benda pipih itu dari telinganya saat teriakan orang dari sebrang sana hampir membuat telinganya tuli. Seketika Lena membulatkan bola matanya saat sadar jika ponsel di tangannya adalah ponsel Alan, bukan ponselnya.
Lena memperhatikan ke sekitar, mencari keberadaan Alan yang tidak ada, bahkan Avin pun tidak ada di sampingnya. Lena ditinggal seorang diri di kamar. Lalu pandangan Lena teralihkan pada jam dinding yang menunjukkan pukul 10 malam, gila! Selama itu dirinya tertidur? Lalu mengapa tidak ada yang membangunkannya?
"Lena! Lo masih di situ?"
Lena kembali tersadar dari rasa terkejutnya saat Jeje—si penelepon itu kembali bersuara.
"Kenapa, Je? Alan gak tau di mana, gua lagi di kamar adenya." Lena menjelaskan agar Jeje tidak semakin berpikir yang tidak-tidak tentang dirinya yang sudah mengangkat panggilan pada ponsel Alan.
"Lo ngapain di kamar Avin? Simulasi buat nanti berumah tangga sama Alan? Haha, dua anak lebih baik, kan Len?"
Lena mendengkus kasar saat tawa Jeje terdengar semakin keras, sialan sekali pemuda menyebalkan itu.
Dengan cepat Lena mematikan sambungan teleponnya tanpa ada niatan untuk merespon pertanyaan Jeje. Ia banting ponsel Alan dengan sedikit kasar pada kasur kemudian beranjak turun, Lena harus pulang agar tidak terkena amuk oleh kedua orang tuanya. Tepat saat Lena akan membuka pintu, seseorang lebih dulu membukanya, memunculkan diri di depannya dengan nampan yang orang itu bawa.
"Gua kira lo masih belajar jadi mayat," ejek Alan sambil masuk melewati Lena dan meletakan nampan berisi mie rebus serta segelas air di atas meja.
"Tas gua mana? Gua mau balik," ucap Lena tanpa ada niatan untuk membalas ejekan Alan yang sempat terdengar menyebalkan itu.
"Gak usah baliklah. Besok minggu, nginep aja di sini temenin Avin, bocahnya dari tadi gak tidur-tidur selalu ngintip lo takut lo ilang," ujar Alan. Dirinya berjalan menuju lemari untuk mengambil selimut dan bantal cadangan untuk dipakai oleh Lena nanti.
"Tapi—"
"Emak gua udah izin ke emak lo, jadi lo aman." Alan menoleh pada Lena sambil memotong cepat ucapan gadis itu, Alan sudah tau apa yang akan gadis itu katakan.
"Makan mienya, bentar lagi Avin ke atas buat tidur sama lo," sambung Alan sambil menunjuk mie rebus dengan sorot matanya.
"Gua mana nyaman tidur di kasur yang kecil," protes Lena yang membuat Alan menaikan satu alisnya. "Terus tadi? Lo tidur hampir lima jam dengan keadaan tidur pules," ucapnya dengan nada mengejek.
Dengan raut wajah kesalnya Lena menjawab, "tadi 'kan gua tidur sendiri makanya nyaman. Lagian gua takut tengah malem Avin gua tendang gegara tempatnya sempit."
Alan yang mendengar alasan dari Lena itu hanya bisa menatap malas pada gadis itu, padahal tadi mereka sempat tidur bertiga meskipun keduanya tertidur dalam posisi duduk tapi tetap cukup untuk tiga orang.
"Terus? Lo pengen tidur di kamar gua, gitu? Boleh kok Len, asalkan lo tidur sama gua dan Avin tidur di sini, gimana?" Alan menaik-turunkan kedua alisnya, menatap penuh arti pada Lena.
Lena bergidik ngeri, dengan kesal ia melempar kasar bantal sofa hingga mengenai lengan Alan yang kini malah tertawa. "Dalam mimpi lo pun gua gak sudi tidur berdua sama lo!" ucap Lena dengan sarkas.
"Terus tadi? Dan ... yang di gudang waktu itu?" tanya Alan yang semakin semangat untuk mengerjai Lena.
"Itu beda, ya! Tadi dan tempo lalu itu kita tidur dalam posisi duduk," balas Lena.
"Oh, jadi lo pengen kita tidur dalam posisi baring—"
"Alan! Lo apaan sih, pembahasan lo gak jelas," kesal Lena yang langsung menghentikan ucapan Alan agar tidak semakin gila sedangkan Alan, pemuda itu saat ini tengah tertawa puas karna berhasil mengerjai Lena hingga gadis itu kehabisan kata untuk membalas ucapannya. Bahkan dirinya merasa senang saat wajah Lena berubah memerah—entah menahan malu atau menahan kesal.
•.¸♡ Hello, My Dear Enemy ♡¸.•
•.¸♡ Bab 21
•.¸♡ ditulis oleh TiaraAtika4
KAMU SEDANG MEMBACA
[01] Hello, My Dear Enemy ✔
أدب المراهقينStory 01. [ Hello, My Dear Enemy ] By : @girlRin @TiaraAtika4 ▪︎▪︎▪︎▪︎ Alan dan Lena itu seperti air dan minyak, takkan bisa bersatu. Berharap mereka akur sama saja seperti berharap matahari terbit dari barat. Bertemu setiap hari sejak masih kecil...