•.¸♡ Hello, My Dear Enemy ♡¸.•
Sejak hari itu, Alan tak lagi mengganggu Lena. Bahkan ketika Lena bertanya kepada Jeje juga Ajun ada apa dengan Alan, keduanya malah bertanya kepada Lena hal yang sama. Alan jadi terlihat lebih pendiam dan bahkan tak peduli dengan sekitar. Ketika diajak ke Kantin oleh Ajun juga Jeje, pemuda itu menurut saja seperti tak peduli. Bahkan ketika dikerjai oleh keduanya, Alan juga tak memberikan respon.
“Lo beneran enggak bikin dia kesel, Len?” tanya Amel yang diangguki oleh Sasa. Lena yang ditanya pun mengembuskan napas berat. “Udah berapa kali gue jawab. Gue juga enggak tau dia kenapa. Biasanya ada aja yang jadi bahan bikin gue kesel, tumben aja sekarang malah diem bahkan dia kesannya kayak ngehindarin gue gitu.”
Sasa menatap sosok Alan yang saat ini sedang bermain game sendiri. Saat ini kelas mereka sedang jam kosong dan lima menit lagi jam istirahat. Ajun juga Jeje tak ingin mengganggu Alan yang memang sedang dalam suasana hati yang buruk.
“Ini udah seminggu lebih lho, Len. Enggak biasanya Alan kalem begitu. Gue takut dia kesurupan,” ucap Amel.
“Lha, gue apalagi? Gue juga takut, cuy. Gimana kalo dia diem gitu, tapi malah lagi merencanakan pembunuhan ke gue? Ngeri tau,” ucap Lena.
Sasa memutar bola matanya jengah. “Enggak mungkin kali. Lagian orang tua kalian temen sekolah, enggak mungkin si Alan malah mau ngebunuh lo. Bisa kena smekdon bapak lo yang ada dianya,” ucapnya.
Lena menatap Alan dengan tatapan khawatir. Memang ketika Alan berada di dekatnya, Lena suka merasa kesal. Hanya saja ketika Alan yang menjauhinya seperti ini malah membuat Lena semakin tak suka. Ia seperti kehilangan sesuatu dalam hidupnya.
Apaan sih? Enggak! Enggak! Mending gue manfaatin ini buat ngungkapin perasaan gue ke Jehan! Bener! Batin Lena menyemangati dirinya.
Lena sekali lagi melirik ke arah Alan yang masih fokus pada ponselnya. Gadis itu mengembuskan napas berat dan kemudian beranjak pergi ketika bel istirahat berbunyi. Alan mengangkat pandangannya ketika Lena melewati mejanya. Bangku gadis itu tak berada di dekatnya, otomatis tak mungkin Lena akan berjalan melewati mejanya.
“Lan, ngantin yok?” ajak Jeje. Alan menggeleng pelan. Ia berkata, “gue mau ke perpustakaan bentar. Kalian duluan aja, ntar kalo gue udah selesai ya gue susulin.”
Ajun menatapnya ragu, tapi ia hanya bisa mengangguk dan mengajak Jeje pergi. Alan meraih ponselnya dan kemudian beranjak pergi menuju perpustakaan. Selama hampir seminggu lebih terakhir ini, Alan suka sekali membaca buku di sana. Ia menemukan beberapa novel yang lumayan menarik dan tanpa sadar novel-novel itu menyadarkan Alan akan sesuatu.
•.¸♡ Hello, My Dear Enemy ♡¸.•
Lena tersenyum ketika Jehan tiba. Beberapa menit yang lalu ia mengirimkan pesan kepada Jehan untuk menemuinya di halaman belakang sekolah. Jehan bilang dia juga kebetulan dari toilet maka ia mengiyakan ajakan Lena. Toh, toilet dengan halaman belakang sekolah cukup dekat.
“Han, lo dateng.”
Jehan menautkan alisnya heran. “Lo yang minta gue dateng, ’kan? Ya, gue dateng dong.” Lena tersenyum mendengarnya. Tiba-tiba saja ia merasa gugup. Jehan menyadari itu.
“Lo ... ada apa?” tanya Jehan.
Lena menautkan jarinya di belakang punggungnya. Ia gugup. Dalam hati ia mencoba menguatkan dirinya. Jehan yang bingung pun mendekat dan ketika akan menyentuh pundak Lena, tiba-tiba saja gadis itu berseru.
“GUE SUKA SAMA LO, HAN!”
Tangan Jehan berhenti tepat beberapa senti dari pundak Lena. Pemuda itu terkejut. Lena mendongak untuk menatap Jehan. Ia langsung berkecil hati ketika raut wajah Jehan berubah jadi seperti merasa bersalah.
Apa gue kena tolak? Batinnya sedih.
“Lena ...”
“Gue suka sama lo, Han. Gue suka ah—enggak, gue cinta sama lo.” Lena kembali berucap dengan yakin.
“... Len, lo enggak beneran suka sama gue. Lo cuma salah mengartikan perasaan lo aja. Gapapa, gue bantuin kok. Gue bakal bantu lo buat sadar sama perasaan lo sendiri,” ucap Jehan.
Lena menatapnya dengan tatapan sendu. “Lo enggak suka sama gue?” tanyanya dengan lirih. Jehan tersenyum tipis. “Gue suka. Suka banget sama lo, tapi bukan suka yang lo maksud. Gue suka sama lo karna gue ngerasa punya adek cewek. Lo tau gue anak tunggal. Nyokap gue meninggal enam bulan lalu dan bokap ngajak balik ke Indonesia buat mulai hidup baru. Gue kesepian, Len. Hadirnya lo di sisi gue buat gue nyaman dan ngerasa punya sodara buat berbagi dan lindungi,” ucap Jehan.
Lena menggeleng kecil. “Gue enggak mau cuma sebatas adek,” ucapnya.
Jehan tersenyum tipis. Ia merasa bersalah. “Maaf, Len. Gue yakin lo cuma salah mengartikan perasaan lo aja. Lo mungkin sama kayak gue yang ngerasa seneng soalnya kayak ada yang jadi sodara buat lo. Perasaan sayang yang lo kasih ke gue tuh bukan perasaan sayang cewek ke cowok, tapi perasaan sayang buat sodara. Coba deh lo mikir lagi. Kita aja baru kenal enggak sampe dua bulan, Len. Lo enggak mungkin udah sesuka itu sama gue.” Jehan menjelaskan.
“Jadi, menurut lo gue enggak bisa pahamin perasaan gue sendiri?!” balas Lena. Tiba-tiba saja ia merasa kesal.
Jehan menggeleng kecil. “Bukan gitu. Maksud gu—”
Lena menatap Jehan dengan tatapan kesal. “Lo kalo nolak tuh nolak aja. Gosah kebanyakan alasan!” seru Lena dengan nada tinggi. Gadis itu berlari meninggalkan Jehan dengan wajah dan netra memerah menahan tangis.
Jehan yang ditinggalkan pun hanya bisa mengembuskan napas berat. Ia bingung. Dia tak menyukai Lena seperti yang Lena harapkan, ia menganggap Lena seperti adiknya sendiri. Akan salah menurutnya kalau ia tiba-tiba menyukai Lena seperti yang Lena harapkan.
“Gue kira lo suka sama dia.”
Jehan mendongak dan mendapati sosok Alan yang sedang duduk di atas pohon dengan sebuah buku novel di tangannya. Jehan tersenyum geli. “Ngapain di atas situ? Turun, Lan. Nanti jatoh,” ucapnya.
Alan mendelik malas. Ia tadinya sedang asyik membaca di atas sana sampai ia melihat Lena datang dan kemudian Jehan dan kemudian ya kalian tahu apa yang terjadi selanjutnya.
“Nangis tuh anaknya gara-gara lo,” ucap Alan sambil melompat turun. Ketika Alan sudah berada di depannya, Jehan malah menggelengkan kepalanya.
“Dia cuma belum sadar aja sama perasaan dia. Nanti juga mendingan,” balas Jehan. Alan menatapnya malas. Ia hendak berjalan pergi ketika suara Jehan menahannya.
“Lo juga mungkin harus mulai belajar mahamin perasaan lo sendiri.”
Alan berbalik dan kemudian berjalan mendekati Jehan. Pemuda blasteran itu menautkan alisnya heran dan kemudian tinju Alan menghampiri pipi kirinya. Jehan jatuh sambil memegangi pipinya yang terasa ngilu.
“Lo pantes dapet itu!” ucap Alan kemudian pergi dengan perasaan kesal. Jehan yang melihat kepergian Alan malah tertawa geli.
“Duh, orang di Indonesia kok pada hobi banget sih bohongin perasaan sendiri. Heran gue,” ucap Jehan sambil mengusap pipinya.
•.¸♡ Hello, My Dear Enemy ♡¸.•
•.¸♡ Bab 25
•.¸♡ ditulis oleh girlRin
KAMU SEDANG MEMBACA
[01] Hello, My Dear Enemy ✔
Teen FictionStory 01. [ Hello, My Dear Enemy ] By : @girlRin @TiaraAtika4 ▪︎▪︎▪︎▪︎ Alan dan Lena itu seperti air dan minyak, takkan bisa bersatu. Berharap mereka akur sama saja seperti berharap matahari terbit dari barat. Bertemu setiap hari sejak masih kecil...