•.¸♡ Hello, My Dear Enemy ♡¸.•
Alan membuka matanya dengan perlahan dan saat ia sudah bisa beradaptasi dengan cahaya remang-remang di ruangan itu, ia merasakan lengannya kebas. Ia menoleh dan mendapati sosok Lena sedang tertidur berbantalkan lengannya. Alan mencoba menarik tangannya, tapi Lena malah semakin merapatkan dirinya kepada Alan seolah-olah enggan menjauhi pemuda itu.
Alan memutar bola matanya jengah dan kemudian mencubit hidung Lena sampai gadis itu memekik dalam tidurnya dan segera bangun. “Bangsat! Enggak bisa napas gue, cuk!” seru Lena sambil mengap-mengap.
“Salah sendiri bikin tangan gue pegel. Noh, dipijitin kagak, malah ngomel!” balas Alan.
Lena mencibir kecil dan kemudian melirik Alan yang sedang mengurut-urut lengannya. Seketika Lena merasa kasihan. Pasti lengan Alan terasa kebas karena dia pakai sebagai bantal untuk tidur. Lena pun berdecak kecil dan menarik tangan Alan sampai pemuda itu tercekat kaget.
“Eh! Jangan dipake jadi bantal lagi, njirrr. Pegel tangan gue!” seru Alan.
“Ih, berisik banget sih. Gue mau niat baik nih. Enggak mau?” balas Lena dengan nada ketus. Alan mencibir, “niat baik tuh ya kudunya manis-manis gitu. Mana ada niat baik muka judes kayak kunti gitu.”
Lena mencubit lengan Alan sampai pemuda itu mengaduh kesakitan. “Anjing! Sakit, Len!” ringis Alan.
“Gosah ngomongin hantu. Nanti dateng beneran!” balas Lena dengan nada ketus, tapi Alan bisa melihat tatapan ketakutan di netra gadis itu.
“Tch, iya deh. Iya! Buruan pijitin. Pegel nih tangan gue!” pinta Alan.
Lena dengan tatapan tak ikhlas pun mulai mengurut-urut lengan Alan. Pemuda itu melirik wajah cemberut Lena dan tanpa sadar tersenyum tipis. Rasanya sangat lucu melihat Lena yang merenggut seperti ini. Apalagi kalau gadis itu menatapnya dengan tatapan kesal dan berapi-api. Rasanya Alan selalu merasa senang.
Lena melepaskan tangan Alan dan kemudian menempelkan tubuhnya semakin dekat dengan Alan. Pemuda itu hanya memutar bola matanya jengah dan kemudian melirik sekitar. Gudangnya terasa berantakan, ya apa yang diharapkan dari gudang? Bersih seperti istana? Jangan bercanda.
“Kalo didobrak bisa kebuka enggak, Lan?” tanya Lena tiba-tiba.
Alan menautkan alisnya dan menjawab, “pintunya dibuka ke dalam. Lo dobrak dari dalam ya mana bisa kebuka. Otak tuh dipake.”
Lena berdecih kecil. “Trus kita bakal kekunci di sini sampe kapan? Sampe malem?” rengek Lena.
“Mana gue tau.”
Lena mengerutkan keningnya dan kemudian menatap sekitar dengan perasaan was-was. Alan yang menyadari itu tentu saja berdecak kecil. “Gosah takut. Enggak ada hantu. Paling kalo lo denger suara-suara aneh tuh ya palingan juga tikus sama cicak doang,” ucap Alan.
“Sok tau lo. Siapa tau beneran ada hantu?” balas Lena.
Alan memutar bola matanya jengah. “Terserah lo aja deh, Len. Capek gue.”
Lena memeluk lengan Alan dengan sedikit erat dan Alan juga sudah tak peduli lagi untuk melepaskan tangan Lena darinya.
“Gue jadi inget pas SD lo pernah ngunciin gue di toilet.” Lena menoleh dan menatap Alan yang tiba-tiba bersuara.
“Ya salah lo sendiri nyeburin sepatu gue ke kolam ikan penjaga sekolah dulu,” balas Lena dengan nada tak mau kalah. Gadis itu kemudian menyeringai dan menusuk-nusuk pipi Alan sambil berkata, “tapi dulu lo tuh cengeng banget, ya? Masa dikunci di toilet doang udah nangis kejer sampe Om Bani jemput juga masih nangis.”
Alan berdecak kesal. “Namanya juga bocah. Wajar kali dikit-dikit nangis,” balasnya membela diri.
“Dih! Gue juga bocah kok waktu itu. Buktinya waktu lo ngelemparin gue kodok gede waktu SD, gue enggak nangis.” Lena membalas.
“Pas kecil doang lo pemberani. Pas gede gini malah penakut sama setan,” ejek Alan.
“Setan bisa bikin mati manusia tau,” balas Lena.
“Gara-gara amal kebaikan lo dikit mungkin makanya dia ganggu lo. Coba dong liat gue? Amalan kebaikan gue banyak, kagak ada tuh mereka berani deketin gue.” Lena berdecih begitu mendengar ucapan Alan yang kepalang percaya diri.
“Kayaknya sejak kecebur got dulu otak lo jadi rada geser deh,” ucap Lena.
Alan menatapnya tajam. “Salah siapa gue jatuh ke got dulu, ha? Mana sok polos banget lo dulu. Enggak ada rasa bersalah gitu ke gue. Udah bikin gue basah kuyup bau got trus sampe sepeda gue ikutan nyemplung. Minta maaf mah kagak lo waktu itu,” balas Alan kesal. Ia jadi kesal karena Lena mengungkit masa lalu.
“Ah elah. Baperan amat jadi cowok. Kita tuh waktu itu masih kecil, Lan. Namanya juga bocah, wajar kali nakal.” Lena membalas.
Alan berdecih kecil. Lena pun menatap sekitar dan kemudian tak sengaja ia melihat sepasang mata yang mengintip di balik tumpukan kardus. Lena semakin merapatkan dirinya ke arah Alan sampai pemuda itu menatapnya malas.
“Gosah terlalu deket woi. Engap gue!” ucap Alan.
“Lan, sumpah. Gue enggak bohong. Ada mata yang natap di sana. Matanya merah!” ucap Lena sambil menunjuk ke arah mata yang masih menatap ke arah mereka.
Alan mengikuti arah tangan Lena menunjuk dan benar saja ia melihat sepasang mata merah menatap ke arah mereka. Dengan ragu Alan mengambil sapu yang tadi dibawa oleh Lena dan melemparkannya ke arah mata itu. Tepat ketika sapu mengenai tumpukan kardus di sana, ia bisa mendengar suara cicitan tikus dan mata itu pun pergi diikuti oleh bayangan tubuh tikus.
Alan menatap Lena dan berkata, “cuma tikus. Gosah parnoan!”
“Tapi serem banget. Matanya merah!” balas Lena.
“Kerasukan reog mungkin makanya matanya merah,” balas Alan tak peduli.
Lena melingkarkan kedua tangannya ke leher Alan ketika kembali mendengar suara tikus yang mencicit. Alan tercekat kecil saat ia bisa merasakan deru napas Lena di lehernya. Rasanya hangat sampai bulu kuduk Alan berdiri karena merinding. Bukan karena ia takut, ia hanya kaget dan tak percaya saja.
“Lan! Usir tikusnya!” rengek Lena sambil terus menyembunyikan wajahnya ke leher Alan. Ia ketakutan.
Alan menepuk pelan punggung Lena. Ia bingung mau mengusir tikusnya bagaimana toh memang gudang biasanya sarang tikus, ’kan? Harusnya mereka yang manusia yang diusir karena mengganggu kedamaian para tikus di sini.
“Lan! Tikusnya! Usir!” rengek Lena lagi.
Baru saja Alan akan membalas, tiba-tiba ia mendengar dering ponsel berbunyi. Lena melepaskan pelukannya kepada leher Alan dan membuka ponselnya begitu mendapati Sasa yang menelponnya, ia langsung menjawab panggilan itu.
“SASA, GUE KEKUNCI DI GUDANG SAMA ALAN! TOLONGIN GUE! BANYAK TIKUS DI SINI!” jerit Lena.
Sasa menenangkan Lena dan berkata akan ke sana untuk menolong mereka. Lena mematikan panggilan tersebut dan menatap Alan yang kini menatapnya dengan tatapan datar.
“Kenapa lo natap gue begitu?” tanya Lena bingung.
“Lo ngerengek ketakutan kekunci di sini, padahal lo bawa HP dan bisa nelpon buat minta tolong. Kenapa baru sekarang, Len?” tanya Alan dengan nada mencoba sabar padahal ia sudah ingin menjedotkan kepala Lena ke dinding.
Lena menatap ponselnya dan kemudian terkekeh kecil. “Iya juga, ya? Kok baru kepikiran?” ucapnya.
Alan mengerang kesal. “TAU AH! BODOAMAT, LEN! BODO!”
“Salah lo dong. Lo tadi ’kan nyolong HP gue!” balas Lena tak mau disalahkan.
Alan tak peduli. Ia memilih menggeser posisinya, tapi Lena langsung memeluk tangannya Alan. “Jangan jauh-jauh! Nanti ketempelan setan!” ucap Lena.
Alan rasanya ingin berteriak mengatakan betapa bodohnya Lena sekarang. Sungguh!
•.¸♡ Hello, My Dear Enemy ♡¸.•
•.¸♡ Bab 13
•.¸♡ ditulis oleh girlRin
KAMU SEDANG MEMBACA
[01] Hello, My Dear Enemy ✔
Novela JuvenilStory 01. [ Hello, My Dear Enemy ] By : @girlRin @TiaraAtika4 ▪︎▪︎▪︎▪︎ Alan dan Lena itu seperti air dan minyak, takkan bisa bersatu. Berharap mereka akur sama saja seperti berharap matahari terbit dari barat. Bertemu setiap hari sejak masih kecil...