Bab 15

428 36 0
                                    

•.¸♡ Hello, My Dear Enemy ♡¸.•


Lena mendelik tajam ketika ia tiba di depan rumahnya ia malah melihat sosok Alan yang sedang duduk dengan nyaman di teras rumahnya dengan segelas jus jeruk. Alan menatap Lena dengan tatapan mengejek dan mengangkat gelasnya sambil berkata, “duh! Enaknya es jus jeruk buatan Tante Hani.”

Lena berdecih kecil dan duduk di samping Alan. Ia melirik bagaimana pemuda itu malah meminum jus tersebut dengan sengaja untuk membuat Lena iri. “Sengaja lo, ya? Gue doain keselek!” ucap Lena dengan nada ketus.

Tak lama di depan gerbang ada seorang pemuda tampan dengan membawa paper bag. Ia menatap Lena dengan Alan. “Permisi, rumahnya Om Satya sama Tante Hani, ya?” tanya pemuda itu.

Lena menatap pemuda itu dengan tatapan bingung. Siapa pula pemuda itu? Itulah pikiran Lena sekarang. Mengapa pemuda itu mengenal orang tuanya?

“Lo siapa?” tanya Lena. Alan masih asyik meminum jusnya sambil sesekali melirik pemuda asing itu.

“Oh, gue anak temen sekolah Om Satya. Bokap gue namanya Bima, temen sekelas Om Satya waktu SMA. Nama gue Jehan. Ini beneran rumahnya Om Satya sama Tante Hani, ’kan?” tanya pemuda itu.

Lena mengangguk. “Iya. Gue anaknya. Nyokap gue di dapur trus bokap gue lagi di kolam ikan belakang. Mau masuk enggak?” tawar Lena.

Pemuda itu, Jehan menggeleng kecil. “Enggak usah deh. Ini bokap gue nitip brownies buat kalian. Gue juga mau ke rumahnya Om Bani sama Tante Lia. Lo tau enggak dimana? Mau nganter brownies dari bokap gue juga soalnya. Kita baru pindah ke sini.”

Mendengar itu, Alan langsung berdiri dan mengulurkan tangannya kepada Jehan. Pemuda itu menautkan alisnya bingung dengan tindakan Alan. “Gue anaknya Bani. Dia lagi jalan sama bini dan anaknya yang paling kecil. Sini titipin gue aja,” ucap Alan.

Lena memukul pelan kepala Alan sampai pemuda itu mengaduh kesakitan. Jehan yang melihat itu hanya bisa meringis. “Sakit, woi!” seru Alan.

Lena menatap Alan dengan tatapan tajam. “Bani ... Bani ... bapak lo tuh. Sopan dikit!” balas Lena.

Alan mencibir. “Bapak gue juga, kok lo yang repot!”

Jehan menggeleng kecil dan mengulurkan paper bag lain yang memang niatnya ia ingin antar ke rumahnya Bani. “Kepala lo gapapa?” tanyanya kepada Alan.

Lena mencibir kecil. “Gapapa tuh kepala dia kayak batu. Makanya susah banget dibilangin.” Jehan terkekeh kecil. “Kalau gitu gue balik duluan, ya. Kalian lucu deh. Pacaran, ya?” ucapnya kepada Alan juga Lena.

Keduanya langsung melotot dan bahkan pura-pura muntah. “Wah, kompak banget.” Jehan kembali meledek.

“Yang bener aja, bro? Sama nih jelmaan kuyang? Mending gue jadi perjaka tua sampe fosil!” ucap Alan.

Lena yang tersinggung pun membalas, “gue juga ogah sama pantat kuda nil kayak lo! Mending gue nikah sama kucing oren depan gang!”

Jehan tertawa kecil. Lena menoleh dan tanpa sadar terpesona dengan suara tawa Jehan yang terdengar merdu. Jehan menghentikan tawanya dan kemudian pamit. Lena masih memandangi kepergian Jehan sampai Alan menoyor kepalanya.

“Aduh! Bangsat! Kepala mahal gue nih!” ucap Lena.

“Biasa aja natapnya. Naksir lo sama dia?” tuding Alan. Lena mendelik tajam. “Urusannya apa sama lo? Dahlah! Gue mau masuk ke dalam. Mau makan kue! Lo mending ke belakang aja sono ambil ikannya!” Alan menatap kepergian Lena dengan tatapan kesal. Entah karena apa.

•.¸♡ Hello, My Dear Enemy ♡¸.•

Hani menatap Lena yang sedang duduk di ruang tamu sambil menatap kue di depannya dengan tatapan berbinar. “Heh, kue dari mana tuh?” tanya Hani. Lena menoleh dan menjawab, “anaknya Om Bima. Namanya Jehan.”

Hani menatap Lena dengan tatapan tak percaya. “Bima? Yakin kamu? Setau Mama, temennya Papa kamu yang namanya Bima tuh nikah sama orang luar negeri dan udah lama pindah dari Indonesia.”

“Beneran. Katanya baru pindah ke deket sini. Tadinya mau Lena ajak masuk, tapi dianya enggak mau. Mukanya memang enggak keliatan Indonesia banget sih. Ganteng kayak di luar nurul,” ucap Lena.

Hani menatap anaknya dengan tatapan mengejek. “Lha, naksir kamu? Alan mau kamu kemanain?” tanyanya.

Lena mencibir. “Apaan sih? Mending dia ke laut aja!”

Hani tertawa geli dan kemudian menoleh ke arah pintu dimana ada Satya dan Alan masuk. Pemuda itu membawa satu kantong plastik dan juga paper bag mirip dengan yang ada di dekat kaki Lena.

“Oh, Alan? Papamu mana? Kok kamu yang ambil ikannya?” tanya Hani.

Alan membalas, “jalan-jalan sama Mama sama Avin juga. Alan dianaktirikan.”

“Syukurin!” celetuk Lena.

Satya menggeleng kecil dan kemudian menatap istrinya. Hani langsung berkata, “katanya Lena, anaknya Bima nganter kue tadi. Bima pindah ke Indonesia lagi?”

Satya mengangguk kecil. “Sebulan lalu dia ngirim pesan katanya minta cariin rumah. Yodah, kebetulan rumah deket sini ada yang kosong. Dia pindah ke sini sama anaknya. Siapa namanya ya ... Je ... Je—apa gitu. Lupa,” ucap Satya.

“Jehan, Pa! Jehan! Namanya Jehan!” seru Lena.

Alan tanpa sadar merengut kecil. Hani terkekeh kecil. “Naksir Jehan kayaknya nih,” ucap Hani mengejek Lena.

Lena menatap Ibunya dengan tatapan malu. “Ih! Apaan sih, Ma?!” rengeknya.

“Wajar sih. Istrinya Bima tuh kan orang luar. Wajar aja anaknya produk unggulan,” ucap Satya.

Alan yang jengah dengan pembahasan mengenai Jehan pun langsung pamit pulang. Satya menatap kepergian Alan dengan penuh tanda tanya. “Kenapa pulang si Alan? Padahal mau diajak makan bareng. Kesian dia sendirian di rumah,” ucap Hani yang sama bingungnya.

“Biarin aja sih, Ma. Manja dianya tuh. Udah tau labil kayak cewek. Padahal Lena aja enggak gitu. Muka dia udah enggak enak sejak ketemu Jehan tadi. Ngerasa kalah ganteng kali sama Jehan,” ucap Lena.

“Masa sih?” tanya Satya. Lena mengangkat bahunya acuh dan kemudian pergi ke dapur sambil membawa kue pemberian Jehan.

Hani menatap suaminya dengan tatapan geli. Satya yang melihat itu pun bertanya.

“Biasalah. Anak muda. Masa enggak tau?” balas Hani. Wanita itu pun berlalu menuju dapur karena ia masih harus memasak. Meninggalkan Satya yang masih mencerna makna ucapan sang istri sampai akhirnya ia tertawa geli.

“Lha, jadi cemburu nih ceritanya? Biasanya ribut sekarang malah cemburu. Bani ... Bani ... anak lo persis kayak bini lo pas masih SMA. Cemburunya gengsi,” ucap Satya sambil mengenang masa muda mereka.

Satya pun tiba-tiba terpikir. “Nah, bener deh kayaknya kalo benci sama cinta tuh beda tipis. Tiap hari berantem eh taunya malah suka. Apa anak gue bakal direbutin sama anaknya Bani sama anaknya Bima, ya? Wah, cetakan gue unggul juga sampe bisa direbutin dua bocah beda cetakan. Hahaha ....”

•.¸♡ Hello, My Dear Enemy ♡¸.•

•.¸♡ Bab 15
•.¸♡ ditulis oleh girlRin

[01] Hello, My Dear Enemy ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang