4. Harap yang Patah

838 117 17
                                    

Pedihnya tanya yang tak terjawab
Mampu menjatuhkanku yang dikira tegar
Kau tepikan aku, kau renggut mimpi
Yang dulu kita ukir bersama

Seolah aku tak pernah jadi bagian besar
Dalam hari-harimu
.
.
Raisa - Usai di Sini
.
.
.
.
.
.
Satu pekan ini aku lebih sibuk dari biasanya. Berdalih ingin menyiapkan PPDS yang bahkan baru wacana, aku mengisi waktu luang dengan mengikuti kegiatan Dokter Bagas, salah satu dokter obgyn di Prama Medika. Dikenalkan oleh Kak Adya yang merupakan sahabatnya, aku mengambil kesempatan untuk bertanya banyak hal tentang persiapan masuk PPDS. Dari mulai sertifikat yang harus dimiliki hingga bimbingan kasus obgyn yang bisa menjadi nilai tambah saat mendaftar.

Mami yang mendengar ceritaku sepekan ini, ikut bersemangat. Tanpa tahu kalau semua itu hanya kamuflase dari benang kusut yang mengisi kepalaku sejak mendengar kabar mengejutkan dari Gandhi. Lebih tepatnya tentang Gandhi, karena bukan dia sendiri yang memberitahuku.

Kenyataannya adalah aku sedang menghindari Gandhi.

Hampir setiap hari, Gandhi meminta bertemu. Tentu saja dia ingin menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya. Namun aku butuh waktu. Aku ingin mengumpulkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa diterima akal sehatku atas banyak pertanyaan 'kenapa' di kepalaku. Aku ingin bertemu dengannya ketika kepalaku sudah dingin.

Sayangnya, aku tidak bisa menghindar ketika Gandhi menungguku selepas jaga pagi IGD. Tidak ingin membuat drama dengan adegan kabur-kaburan, akhirnya aku setuju untuk bicara dengannya. Kami menuju taman rumah sakit yang cukup sepi. Sepanjang lorong dari IGD, kami tidak berkata apapun selain membalas sapaan dari beberapa orang.

Aku tidak bisa mengabaikan tatapan orang-orang pada kami. Apalagi kalau bukan karena tangan Gandhi yang mengamit erat jemariku. Hal yang tidak pernah dilakukannya selama kami bekerja di rumah sakit yang sama. Orang-orang mungkin tahu aku dekat dengan Gandhi, tapi mereka jarang melihat kami hanya berdua. Keempat sahabat kami hampir selalu ada di antara kami. Jadi kemungkinan besar tidak banyak yang tahu kalau aku memiliki hubungan dengannya.

"Eh, Dok Gandhi? Sore Dokter Didi." Kali ini, sapaan lainnya membuat kami melambatkan langkah. Dilihat dari seragamnya, yang menyapa kami adalah perawat di ruang rawat inap. Mungkin perawat di bangsal anak tempat Gandhi berjaga. "Kirain udah cuti, Dok Gandhi, teh. Minggu depan berangkat kan?"

Kenyataan lain yang membuatku terpaku, dan genggaman erat yang aku rasakan di tangan membuat aku tahu Gandhi menyadarinya.

"Masih dua minggu lagi, Teh. Hayu ah, ke sana dulu."

Hanya bisa mengangguk untuk berpamitan, aku kembali mengikuti langkah Gandhi. Sampai di taman yang dituju, kami berdua duduk di sebuah bangku besi panjang menghadap lalu-lalang orang di lorong rumah sakit. Taman ini cukup nyaman sebenarnya, tapi jarang dipakai karena berada tepat di seberang pintu ruang jenazah.

"Didi, tolong dengar penjelasan aku dulu." Gandhi tidak membuang waktu dan langsung bersuara ketika kami sampai.

"Itu juga yang aku tunggu, Dhi, biar aku nggak jadi satu-satunya orang yang nggak tau apa-apa."

"Nggak gitu, Didi." Selama ini suara lembut Gandhi mampu menenangkanku, tapi kali ini rasanya memuakkan. Karena apa yang aku dengar, tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. "Aku minta maaf. Aku nggak ada maksud buat nyembunyiin semuanya dari kamu. Tadinya aku cuma iseng aja daftar beasiswa, belum tentu diterima juga kan. Waktu ketemu Dhana di SBA, itu aku baru aja dapet pengumuman. Mau cerita ke kamu tapi kita belum ada waktu buat ngobrol lama."

Selanjutnya Gandhi menceritakan hal detail tentang proses yang sudah dan akan dilaluinya. Kampusnya, jurusan, hingga lama rencana studi di sana. Gandhi meyakinkan kalau kami akan baik-baik saja karena dia hanya akan berada di sana sekitar 1-2 tahun. Aku ingin mencerna perkataan Gandhi, tapi tidak ada satupun dari kalimatnya yang menjawab pertanyaan di kepalaku.

DD/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang