Kau terima semua kurangku
Kau tak pernah marah bila ku salah
Kau selalu memuji
Apapun hasil tanganku
Yang tidak jarang payah
.
Tulus - Jangan Cintai Aku Apa Adanya
.
.
.
"Maaf ya, Di, tau gini tadi kamu pulang sama Grace aja. Aku nggak bisa nolak juga kalau diminta senior. "
Aku menoleh ke arah lelaki yang duduk di sampingku. Senyumku terkembang ketika mendengar suara lembutnya mengalun di telinga. Aku pernah membaca deskripsi tentang suara maskulin dalam novel, rata-rata mereka menggambarkannya dengan suara lelaki yang bernada cenderung rendah, berat, dan tegas. Tapi bagiku, suara yang barusan aku dengar adalah suara paling maskulin yang pernah aku dengar. Nadanya tidak serendah itu, tidak seberat itu juga hingga terdengar menyeret, dan sangat berkebalikan dari makna tegas. Tapi justru nada lembut dalam suaranya, selalu mampu membuatku terpesona.
"Kan niatku emang lama-lama sama kamu." balasku. Menggodanya selalu terasa menyenangkan untukku, apalagi ketika mampu membuatnya salah tingkah. Meski sekedar gelengan kepala, aku paham sekali kalau itu adalah reaksi salah tingkahnya.
"Radinka, nggak boleh gitu ya."
Aku tertawa kecil karena responnya. Kalimat yang dia ucapkan barusan, sama sekali tidak terdengar menghardik. Dia masih menggunakan nada lembut favoritku. Suara khasnya yang selalu mampu membuatku jatuh cinta.
"Lho, aku serius, Dhi." Aku menghapus tawa agar dia percaya kalau, "Aku emang seneng ngabisin waktu sama kamu. Walaupun cuma sebentar dan berakhir ditinggal."
Lelaki bersuara lembut itu sekarang tertawa. Kalau ada suara tawa yang terdengar menyenangkan, maka tawa itu miliknya. Tawa yang sama sekali tidak terdengar meremehkan, karena dia selalu menghargai apapun yang ada di hidupnya. Tawa yang tidak pernah berlebihan, karena dia tahu hidupnya selama ini pas-pasan.
Ah, aku lupa satu hal penting. Lelaki bersuara lembut itu bernama Gandhi. Dan dia adalah pacarku hampir lima tahun ini.
Perkenalan kami sangat biasa, aku mengenalnya karena kami sama-sama mahasiswa baru di fakultas kedokteran. Kami menjadi dekat setelah perkuliahan dimulai dan sering satu kelompok karena NIM kami berdekatan. Tidak hanya berdua, bersama empat teman lain, kami akhirnya bersahabat. Aku, Gandhi, Milly, Grace, Yudhis, dan Dhana seperti sekelompok kurcaci yang selalu nampak bersama kemana-mana.
Namun, alih-alih terus bersahabat seperti dengan empat temanku yang lain, aku justru merasakan perasaan berbeda pada Gandhi. Sikapnya yang sederhana, empatinya yang luar biasa dan kesabarannya yang terasa tulus begitu saja meluluhkan hatiku. Bisa dibilang, aku lebih dulu menyukai Gandhi. Setiap gerak-geriknya selalu jadi perhatianku. Sikap baik yang mungkin biasa jika dilakukan orang lain, nampak luar biasa di mataku saat dilakukan oleh Gandhi.
Jadi ketika dia menunjukkan ketertarikan padaku, rasanya seperti diperhatikan oleh idolamu. Membuatku ingin menjerit kencang saking senangnya. Tidak butuh waktu lama, tepat di tahun ketiga perkuliahan, kami memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih. Dan ternyata hubungan kami bertahan hingga lima tahun kemudian, di saat kami sudah sama-sama menjadi Dokter dengan segudang kesibukan masing-masing.
Aku akui, hubungan kami belakangan ini tidak mudah. Kebersamaan kami yang jauh berkurang dibanding ketika kuliah dulu memang menjadi tantangan, tapi sikap Gandhi yang tidak berubah membuatku yakin kalau kami masih berada di jalan yang sama. Dia masih selembut dulu, sepengertian dulu, dan selalu menerimaku apa adanya. Jadi hal itu juga yang berusaha aku lakukan ketika kesibukannya menggila, mencoba mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
DD/
Romanzi rosa / ChickLitDD/ alias Diagnosis Banding, merupakan daftar kemungkinan kondisi yang memiliki gejala yang sama. *** Lima tahun menjalani hubungan yang manis, Diandra Alana Radinka selalu yakin bahwa Gandhi Wicaksana adalah lelaki yang diciptakan untuknya. Namun...