17. Langkah Besar Radinka

743 98 13
                                    

Hola..

Ada yang kangen Yudhis? 😁

Bab kemarin banyak yang kaget sama lamaran Yudhis. Tapi kalo baca extra POV Yudhis harusnya udah gak kaget yaa 😁

***

Kan ku arungi tujuh laut samudera
Kan ku daki pegunungan Himalaya
Apapun kan ku lakukan tuk dirimu sayang
Oh, penjaga hati

Karena bersamamu semua terasa indah
Gundah gulana hatiku tlah hancur sirna
Janjiku takkan kulepas
Wahai kau bidadariku dari surga
Tuk selamanya
.
.
Nadhif Basalamah - Penjaga Hati
.
.
.
.
.
.

Bekerja di IGD membuatku terbiasa menghadapi kondisi gawat dan atau darurat yang butuh penanganan segera dengan prosedur tepat. Tidak ada banyak waktu jika sudah dihadapkan dengan perbatasan antara hidup dan mati. Meski Tuhan yang menentukan hasil, seorang tenaga kesehatan punya kewajiban untuk berusaha sekuat tenaga di keterbatasan waktu itu.

Di satu titik, aku menikmati pekerjaanku. Ini bukan perkara adrenalin yang mungkin bagi sebagian orang menyenangkan ketika terpacu. Ini tentang memaknai setiap langkah kita dalam hidup. Aku merasa hidupku tidak sia-sia ketika Tuhan mengizinkanku untuk bisa mengusahakan yang terbaik bagi orang lain dalam sedikit waktu yang ada. Siapapun itu. Terutama orang tuaku.

Aku tidak ingin menyebut hidupku sedang ada di keterbatasan waktu, apalagi menyangkut orang tuaku. Jika boleh, aku ingin selamanya hidup dengan mereka. Tapi nyatanya, kehidupan kita di dunia ini hanya satu titik kecil dari keabadian yang dimiliki Tuhan. Jadi, aku akan selalu memanfaatkan waktu yang ada untuk menyenangkan kedua orang tuaku. Termasuk ketika memutuskan untuk bersama Yudhis karena mereka.

Kuakui, pada saat memutuskan untuk bersama Yudhis, aku merasa seperti sedang menghadapi kegawat-daruratan medis di IGD. Kondisi Papi saat itu, seolah memancing adrenalinku untuk segera menanganinya dan memutuskan dengan tepat. Dan tawaran Yudhis, seolah menjadi pilihan terbaik ketika itu.

Tapi aku tidak menyangka, kalau keputusanku untuk menerima Yudhis dengan segala kesepakatan kami, membuatku melangkah secepat ini. Di saat aku sedang menyiapkan pendidikan lanjutan, lamaran Yudhis datang tepat di hadapan teman-temanku. Simbol dari keseriusan yang pernah kami bahas beberapa waktu lalu. Aku tidak tahu apakah dia memang sudah menyiapkannya jauh hari, yang pasti cincin dari Yudhis membuatku berdebar setiap kali menatapnya.

"Cantik ya, Di."

Aku melepas pandangan dari cincin di jari manisku dan mendapati Mami tersenyum dengan mata yang juga menatap cincinku. Setelahnya, kami saling pandang sebelum tertawa bersama.

"Kata Yudhis, ini rekomendasi Mamanya. Nggak perlu heran ya, Mi, sama seleranya Tante Ara." Mama Yudhis alias Tante Amara memang selalu totalitas dalam penampilan, tentu saja pilihannya tidak perlu diragukan lagi.

"Lucky you. Tapi dibanding semua itu, Mami jauh lebih bahagia karena tahu kamu akan mendapat keluarga baru yang sangat menyayangi kamu, sama seperti Mami dan Papi."

Tidak lama setelah Yudhis melamarku di depan para sahabat kami, dia segera menemui Mami dan Papi. Menyampaikan keseriusannya di hadapan mereka, Yudhis sempat membuat Mami dan Papi terkejut. Jelas saja, tidak ada yang tidak terkejut dengan lamaran Yudhis. Meski begitu, setelahnya Mami dan Papi - terutama Papi - nampak sangat senang dengan yang baru saja mereka dengar.

Papi sempat memastikan lagi penerimaanku, alasannya tentu karena saat itu belum ada dua bulan sejak kepergian Gandhi, dimana Mami dan Papi baru mengetahui hubungan kami yang kandas. Namun cincin yang sudah melingkar di jariku juga senyumku yang tidak surut ketika kami berbicara di depan Mami dan Papi, membuat mereka percaya akan keseriusan kami.

DD/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang