36. Menemani Mima

842 119 15
                                    

Why do bird suddenly appear
Everytime you're near
Just like me
They long to be
Close to you
.
.
Carpenters - Close to You
.
.
.
.
.
.

Aku sudah tahu resiko menjadi dokter kandungan, yaitu jam kerja yang 24 jam. Pasien kami tidak bisa dibatasi hanya di jam kerja atau hari kerja saja, memangnya siapa yang bisa menunda persalinan di malam hari hingga besok paginya, atau di akhir pekan hingga ke senin? Apalagi bagi dokter junior sepertiku yang belum bisa menolak ketika dimintai tolong senior atau dokter yang lebih tua.

Namun sekali lagi, terima kasih kepada kakek buyutku yang sudah mendirikan rumah sakit tempatku bekerja. Diakui atau tidak, aku sangat terbantu dengan posisiku di sana. Sejak mulai bekerja, aku sengaja mengambil jadwal praktik yang lebih sedikit dibanding dokter kandungan lainnya. Sebagai orang tua tunggal, aku sadar kalau aku harus punya waktu bersama anak-anakku. Sehingga di akhir pekan, aku sengaja mengambil libur dua hari dan hanya akan datang ke rumah sakit jika ada kasus khusus atau dimintai tolong seperti minggu lalu saat aku baru pulang dari Jakarta.

Apalagi sejak Danta dan Divya mulai sekolah, hari libur menjadi waktu untuk sekedar beristirahat atau melakukan kegiatan favorit kami. Tapi dasar anak-anak yang tenaganya tidak pernah habis, mereka masih begitu bersemangat berenang setelah pagi tadi kami jalan kaki sekaligus mencari sarapan di car free day dekat rumah. Aku yang sempat ikut berenang tadi, sudah lebih dulu menyerah dan hanya mengawasi mereka dari pinggir kolam.

"Mim, Opa sama Oma kapan pulang?" Danta tiba-tiba menyembul dari pinggir kolam di dekatku.

"Besok, Mas. Kenapa?"

"Nggak apa-apa, sepi aja nggak ada Opa."

Aku terkekeh ketika Danta kembali menyelam. Danta dan Opanya - Papiku- memang seperti magnet yang tidak bisa terpisahkan. Tidak heran jika Danta begitu kehilangan, karena sejak hari Kamis, Mami dan Papi pergi ke Surabaya untuk kunjungan rutin ke makam orang tua dan mantan suami Mami juga kakakku, Falila. Kebetulan juga, Papa sedang dinas ke luar kota dan mengajak serta Mama. Jadi akhir pekan kali ini, kami benar-benar hanya bertiga, yang mana begitu jarang.

Aku sangat bersyukur memiliki keluarga besar yang begitu menyayangi Danta dan Divya. Ditengah kesedihanku bahwa mereka tidak akan merasakan sosok ayah dalam hidupnya, bukan hanya Papi dan Papa yang berusaha menghadirkan sosok ayah untuknya, tapi para sepupu lelakiku juga selalu ada. Tidak setiap hari memang, tapi karena rumah yang tidak terlalu jauh, mereka cukup sering mengunjungi keduanya untuk mengajak bermain. Apalagi mereka juga membawa anaknya sehingga Danta dan Divya selalu punya teman main. Jadi, seperti yang aku bilang, momen kami yang hanya bertiga seperti ini memang begitu jarang.

"Mima," Mbak Laila mendekatiku dari arah dalam rumah.

"Ya?" 

"Ada tamu." Eh? Aku mengingat-ingat apakah punya janji dengan orang hari ini. Belum lagi saat ini aku hanya mengenakan bathrobe dengan baju renang di dalamnya. "Pak Gandhi." Keningku semakin mengerut.

"Om Gandhi jadi datang?" Danta yang ikut mendengar, bertanya dengan semangat.

"Om Gandhi!" Aku meringis mendengar teriakan Divya yang sepertinya terdengar hingga ruang tamu.

"Tolong antar ke sini ya, Mbak, anak-anak juga masih basah gitu." putusku akhirnya.

Tidak butuh waktu lama, sosok Gandhi segera terlihat dari pintu geser yang membatasi ruang keluarga dengan halaman belakang. Yang tidak kuduga, anak-anak berlarian menuju Gandhi dan memeluknya dengan tubuh yang basah karena baru saja naik dari kolam.

"Astaga! Mas Ata, Ivy, bajunya Om Gandhi basah dong!" Aku memekik putus asa karena tidak sempat mencegah mereka. Herannya, Gandhi justru tertawa santai dan tidak menghindar sama sekali ketika kaos polo dan celana cargonya basah. Dia bahkan menggendong Danta dan Divya bergantian untuk mendapat pelukan, yang mana membuat bajunya semakin basah.

DD/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang