2. Radinka Si Anak Papi-Mami

1.5K 149 7
                                    

Dimanapun kalian berada

Ku kirimkan terima kasih

Untuk warna dalam hidupku

Dan banyak kenangan indah

.

Kau melukis aku

.

Tulus - Monokrom

.

.

.

"Tadi pulang jam berapa, Di?"

Aku sedang berada di meja makan bersama Mami malam ini. Sejak dulu, jam makan menjadi rutinitas kami untuk saling berbagi cerita seharian tadi. Tidak selalu makan malam, karena kadang sesuatu yang tiba-tiba terjadi membuat salah satu dari kami tidak bisa makan di rumah. Yang pasti, dalam satu hari kami selalu menyempatkan diri untuk makan bersama, seringnya pagi atau malam. Bahkan ketika aku masih sekolah dulu, setiap malam kami selalu duduk berdua di sini.

"Sebelum magrib kok, Mi. Habis baksos, Gandhi pengen batagor kuah. Aku jadi ikutan laper."

Aku bisa melihat Mami tersenyum kemudian mengangguk pelan. Ketika aku pulang tadi, Mami memang sedang berada di kamarnya. Mami biasa bekerja di sana atau kadang hanya fokus membaca buku kesukaannya. Ngomong-ngomong, Mami juga seorang Dokter sepertiku. Namun saat ini Mami hanya praktik di klinik dan sesekali ke rumah sakit karena Mami masih bagian dari managemen. Mami begitu mencintai pekerjaannya. Itu juga yang membuatku ingin menjadi dokter. Lebih tepatnya, salah satu alasanku menjadi dokter adalah melihat Mami.

Sejak aku mengenal perasaan kagum, orang pertama yang menjadi favoritku adalah Mami. Bicaranya lembut, sehingga aku selalu nyaman bercerita padanya. Perhatiannya selalu membuatku merasa disayangi. Hobinya belajar menjadi pemicu semangatku untuk melakukan hal yang sama. Usia Mami sudah lebih dari enam puluh tahun tapi Mami masih cantik sekali, tidak heran kalau Papi kelihatan sangat tergila-gila padanya. Meski tidak jarang merasa malas, melihat Mami membuatku berusaha rajin merawat diri. Terima kasih pada Kak Adya yang tidak bosan mengingatkanku untuk datang ke kliniknya.

"Kata Papi, batagor kuah di kantin kampus kamu memang juara. Dulu Mami pernah diajak ke sana cuma buat makan itu." cerita Mami dengan senyum lembutnya.

"Mami doyan juga? Tau gitu aku bungkusin." Tiba-tiba aku merasa bersalah. Namun kemudian mengernyit karena melihat Mami menahan tawa.

"Mm, kamu jangan bilang-bilang Papi ya. Menurut Mami, nggak sejuara itu sih." Seketika tawa geliku lepas mendengar pengakuan Mami. Mami bahkan sampai berbisik, padahal Papi juga belum pulang sehingga tidak mungkin mendengar. Namun aku bisa membayangkan respon Papi ketika makanan favoritnya dianggap biasa saja, pasti Papi protes.

Jika biasanya seorang ibu lebih banyak bicara, kebalikan dengan yang terjadi di rumahku. Papi menjadi orang yang paling 'ribut' di rumah. Papi kadang menggantikan peran Mami sebagai 'pengatur' di rumah, seperti ibu-ibu kebanyakan.

"Kalo makannya setiap hari juga bosen sih, Mi. Ini karena udah lama aja Gandhi nggak kesana, jadi kangen katanya. " balasku.

"Gandhi sehat? Udah lama banget nggak ke rumah."

Mami dan Papi jelas sangat mengenal Gandhi. Lima tahun bersama tentu saja kami sudah saling mengenal keluarga masing-masing, meskipun aku baru dua kali bertemu dengan orang tua Gandhi ketika wisuda. Keluarga Gandhi memang tinggal di Sukabumi, jadi hanya saat tertentu saja datang ke Bandung. Berbeda dengan pertemuan Gandhi dengan orang tuaku yang cukup sering.

"Sehat, Mi. Dia kan sekarang di Dharma Husada juga, jadi sibuk banget."

"Oh, gitu?" Mami nampak kaget, respon yang hampir sama denganku ketika Gandhi mengabarkan hal itu padaku.

DD/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang