31. Runtuh

757 105 18
                                    

Kita hanyalah manusia yang terluka
Terbiasa 'tuk pura-pura tertawa
Namun, bolehkah s'kali saja ku menangis?
Ku tak ingin lagi membohongi diri
Ku ingin belajar menerima diri
.
.
Fiersa Besari ft Feby Putri - Runtuh
.
.
.
.
.

"Congraduation, Lovebird! Barusan aku lihat reels foto wisuda kalian. Bisa lucu gitu sih ada foto bareng dari TK. Kayaknya kalo jaman kita TK udah ada wisuda, makin gemesin pasti transition-nya pake toga semua."

Aku tertawa menanggapi ucapan Milly, tidak lupa melirik pada Yudhis si pembuat video manis yang dimaksud Milly barusan. Setelah empat semester menempuh pendidikan lanjutan, aku dan Yudhis akhirnya lulus. Dan kelulusan kali ini juga menambah panjang daftar pendidikan yang kami tempuh bersama. Yang oleh Yudhis didokumentasikan lewat sebuah video kompilasi dan diunggah ke media sosialnya. Sedikit tidak biasa, mengingat Yudhis jarang mengabadikan momen di sana, tapi aku bisa paham betapa bahagianya dia. Bukan hanya Yudhis, tapi akupun merasakan hal yang sama.

Tentu saja alasannya karena kelulusan kali ini lebih spesial. Foto wisuda kami tidak hanya berdua atau berenam dengan kedua orang tua kami, tapi juga dengan kedua calon bayi dalam kandunganku. Apalagi kehamilan kembar ini membuat perutku begitu besar di usia kandungan yang masuk bulan ketujuh. Meski saat bercermin aku merasa wajahku berubah karena lemak-lemak tambahan selama kehamilan, aku tidak bisa menutupi binar bahagiaku.

Dan untuk merayakan kelulusan kami sekaligus doa bersama untuk kehamilanku yang memang rutin dilakukan setiap bulan, Milly dan Grace sengaja datang ke rumah kami selepas aktivitasnya masing-masing. Kami memang hanya mengumpulkan keluarga dan teman dekat, tidak banyak. Perutku yang sudah cukup besar dan membuatku sulit bergerak, membuatku lebih sering di rumah sejak bulan lalu, bersamaan dengan mundurnya aku dari IGD dan hanya mengambil jadwal praktik di klinik dekat rumah saja dimana jadwalnya hanya 2-3 jam.

"Kamu masih mual-mual, Dhis?" pertanyaan Grace membuat kami semua menoleh pada Yudhis, menunggu jawabannya. Dan tanganku sontak mengusap punggungnya ketika dia mengangguk.

"Segitu sayangnya sama Didi, sampe mualnya diambil sendiri. Coba aja suamiku kemarin gitu juga." Milly menyinggung kehamilannya kemarin. Berbeda denganku yang baru hamil di tahun kedua pernikahan, Milly justru sudah lebih dulu menggendong seorang bayi kecil.

"Malah ngerasa bersalah kalo aku." ucapku yang seketika membuat Yudhis berdecak. "Akunya jadi bulet, Yudhis malah kurusan gini."

"Nggak apa-apa." balasnya menenangkan. "Yang penting kalian sehat." lanjutnya sembari mengusap perutku.

"Aku akuin sih, walopun Yudhis suka nyebelin, dia emang manis banget kalo sama Didi." ucap Milly lagi.

"Nggak butuh pengakuan." tukas Yudhis.

"Tau!" Milly mencibir, kesal. "Emang nggak boleh banget kayaknya muji-muji dia."

"Jadi habis ini rencananya apa?" Pertanyaan Grace memutus perdebatan Milly dan Yudhis.

"Aku kayaknya masih santai sambil nunggu twins lahir. Mas, udah disuruh ngapain sama Papi?" Aku mengulum senyum mengingat beberapa waktu lalu ketika Yudhis nampak bebicara serius dengan Papi. Tebakanku, mereka membahas soal rumah sakit.

"Papi nawarin beberapa posisi di managemen, tapi aku masih mau di trauma center aja sampe kamu melahirkan. Nggak tau juga kan ini mualnya sampe kapan." balas Yudhis.

"Jadi nggak sabar nunggu twins lahir, nanti Dara ada temennya."

"Semoga lancar ya, Di, Dhis."

Senyumku terkembang bersamaan dengan ucapan terima kasihku pada dua wanita yang selalu mendukung kami selama ini. Kehamilanku memang tidak seberat yang dibayangkan. Suasana senja berkepanjangan yang sempat menganggu, ternyata hanya berlangsung selama trimester awal. Lewat dari empat bulan, hariku kembali normal. Sayangnya, tidak berlaku bagi Yudhis.

DD/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang