21. Cerita yang Selesai

873 106 4
                                    

Benar atau salah
Kini tiada berarti
Biarkanlah
Sekuat tenaga
Ku harus melepasnya
.
.
Raisa - Biarkanlah
.
.
.
.
.
.

Aku memandangi checklist yang kubuat di aplikasi pencatatan ponsel, dimana hampir semuanya sudah tercentang. Baik itu daftar di bawah judul Obgyn maupun Wedding. Bukannya lega, makin mendekati hari-hari penting perasaanku justru semakin berdebar. Untuk beberapa hal, aku merasa bersemangat. Dan sisanya, aku masih meraba hal-hal di luar kendaliku.

Hal yang biasa, ketika kita merencanakan banyak hal, maka akan banyak juga kekhawatiran yang muncul. Mulai dari detail kecil yang mungkin terlewat, hingga masalah krusial yang bisa sampai menyebabkan kegagalan. Tentu saja tidak ada satupun dari keduanya yang aku harap terjadi. Apalagi keduanya begitu berarti untukku.

Aku tahu, setiap usaha selalu punya resiko. Seperti usahaku untuk mendaftar sekolah lagi yang beresiko kegagalan setelah usaha kerasku belakangan ini. Tapi dibanding kegagalan yang biasa terjadi itu, aku lebih khawatir karena hal itu akan mengecewakan orang-orang yang sudah berusaha membuat pernikahanku dan Yudhis terselenggara secepat mungkin.

Iya, meski beberapa waktu lalu sempat merasa ragu dengan keputusanku menikah dengan Yudhis, pada akhirnya tidak ada yang memenangkan keraguanku. Aku nyaman bersamanya, kedua orang tuaku yang bahagia, keluarga Yudhis sangat menyayangiku. Dalam hidup, apa lagi yang perlu aku ragukan ketika sudah mendapat dukungan selengkap itu?

Seharusnya tidak ada. Kecuali aku serakah.

Dan tentu saja aku tidak begitu. Sejak kecil, aku dibesarkan dengan kasih sayang yang luar biasa dari orang tuaku, jadi tidak ada lagi yang ingin aku lakukan selain membahagiakan mereka. Jadi, aku sudah sangat bahagia melihat Mami dan Papi yang makin berbinar akhir-akhir ini karena pernikahanku tinggal dua minggu lagi.

Sore ini, rumah kami masih ramai setelah pagi tadi kami mengadakan prosesi lamaran resmi dari keluarga Yudhis pada keluarga besarku. Tujuannya tentu saja untuk saling mengenal keluarga besar terutama keluarga Yudhis yang lebih banyak berada di luar Bandung.

Sebetulnya, keluarga besar kami berdua sudah cukup saling mengenal. Jangan lupakan, rumah yang kami tinggali dulunya adalah milik kakek dan nenek kami. Jadi di waktu tertentu, keluarga kami bertemu secara tidak sengaja ketika masing-masing sedang menerima kunjungan.

Karena itu, acara kami berlangsung dalam suasana sangat santai. Bahkan beberapa dari kami masih melanjutkan obrolan hingga nyaris sore, terutama untuk menemani para keponakan kami yang sudah bisa menolak untuk tidur siang.

"Tante Didi, kita berenang, yuk!" Ajakan dari Sita, keponakan perempuanku yang paling kecil, membuat aku tertawa. Sedang Mbak Jenna - ibunya - sontak membujuknya untuk mengurungkan ajakan berenang itu.

Setiap datang ke rumah, Sita memang selalu aku temani berenang. Dibanding dua saudara lelakinya atau bahkan sepupunya yang lebih besar dari Tante Adisty yang hanya senang bermain air, Sita paling serius ketika mengajak berenang. Dia akan benar-benar berenang bolak-balik sebelum kelelahan dan akhirnya naik dari kolam. Hanya berenang saja. Dan hal itu yang membuatku hampir tidak pernah menolaknya.

Namun saat ini, aku masih memakai kebaya lengkap dengan riasan tipis yang tadi aku gunakan dalam acara lamaran. Sebenarnya tidak masalah, hanya saja aku membutuhkan waktu untuk berganti baju dan menghapus riasan lebih dulu.

"Sita mau tunggu Tante Didi ganti baju? Mungkin agak sedikit lama. Mm, 30 menit?"

Ketika Sita mengangguk, aku segera berpamitan pada yang lain, termasuk Yudhis yang sedang berbincang dengan Kak Aska dan Kak Arya. Di luar dugaan, Yudhis justru mengikutiku yang beranjak menuju kamar. Aku baru menyadari bahwa dia melangkah di belakangku ketika aku mulai menaiki tangga.

DD/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang