30. Memandang Senja

581 98 17
                                    

Banyak yang salah mengira
Senja bukan tentang kopi
Lagu indie dan cerita

Ku kasi tahu kepadamu
Senja adalah hadiah
Pejalan kaki menjemput magribnya
.
.
Raim Laode - Bersenja Gurau
.
.
.
.
.
.

"Pucat lho kamu, Di. Nggak enak badan?"

Aku perlu menyipitkan mata saat mendongak dari layar laptop di meja untuk menatap Yudhis yang berdiri di samping jendela kamar kami. Remang. Itu yang aku rasakan. Padahal, matahari sore yang masih cukup terik ini tepat mengarah ke jendela hingga menghasilkan siluet tubuh Yudhis. Seharusnya hal itu justru membuatku merasa silau, bukan remang seperti sekarang. 

Kalian tentu pernah melihat senja. Suasana langit berwarna jingga yang membuat pemandangan terasa berbeda. Ada yang bilang cantik, hangat, hingga magis. Banyak orang rela mendatangi beberapa tempat khusus untuk mendapatkan suasana senja yang sesuai keinginan mereka. Bahkan, mereka menunggu lama hanya untuk menyaksikan langit senja yang mungkin hanya beberapa saat saja. Namun aku baru sadar, kenapa senja begitu singkat. Karena ternyata, ketika suasana senja dialami seharian, kita tidak akan bisa menikmatinya.

Itu yang aku rasakan beberapa hari belakangan. Ketika membuka mata pandanganku menguning, persis seperti suasana senja. Diriku nampak baik-baik saja, hanya.. terasa aneh? Aku merasa tubuhku lebih hangat meski saat dicek dengan termometer suhunya normal. Namun karena kondisi itu berlangsung seharian, baru beberapa jam bangun tidur saja aku sudah merasa kelelahan. Layaknya orang yang sudah beraktivitas sepanjang hari. Padahal, sebaliknya.

Perkuliahanku yang sudah masuk semester akhir dan sedang menyiapkan usulan penelitian, membuat aktivitas fisikku berkurang sedang kerja otakku bertambah. Aku lebih banyak berlama-lama di depan laptop, baik di rumah, rumah sakit, maupun sengaja datang ke perpustakaan kampus. Semula kupikir, itulah yang membuatku merasa tidak sehat. Sudah banyak penelitian, bukan, kalau stress bisa menyebabkan kesehatan terganggu? Apalagi aku lebih jarang bergerak. Jangankan untuk berolahraga, mengangkat tubuh dari tempat tidur saja rasanya malas.

Namun pertanyaan Yudhis, pandanganku yang remang, dan warna langit yang khas sore ini, membuat pikiranku terfokus pada satu praduga yang belakangan ada di kepalaku tapi tidak berani aku ungkapkan.

"Mas, kayaknya aku hamil, deh," ucapku ragu.

Yudhis terpaku, jelas. Sudah hampir satu tahun sejak Yudhis dinyatakan masuk fase remisi dan kami masih belum membahas masalah anak. Kami begitu mensyukuri kesembuhan Yudhis dan kehidupan rumah tangga yang normal hingga menjalaninya begitu saja. Kami menikmati perkerjaan - dimana Yudhis sudah kembali ke trauma centre, bersemangat dalam perkuliahan, kami juga cukup rutin berlibur, travelling singkat, dan tentu saja seperti pasangan normal lain, kami rutin melakukan hubungan suami istri - tanpa pengaman. Yah, tidak heran kalau aku sampai hamil. Hanya saja, ini memang cukup mengejutkan karena tidak pernah atau mungkin belum kami bicarakan.

"Serius?" Yudhis akhirnya bersuara setelah beberapa saat kami saling tatap.

Aku mengangkat bahu, tidak yakin karena belum melakukan tes apapun.

"Aku ngerasa aneh aja beberapa hari ini, rasanya setiap hari sore terus. Mens-ku udah telat juga sih, tadinya aku pikir stress aja kali. Kamu udah dapet banyak jurnal, aku belum. Tapi--"

"Udah cek belum? Testpack?" sela Yudhis. "Aku ke apotek dulu," lanjutnya setelah aku menggeleng.

Tanpa menunggu balasanku, Yudhis begitu saja keluar kamar. Dia bahkan nampak tergesa hingga tidak sempat menutup pintu kamar kami, yang mana membuat Mami dan Papi yang melihatnya melintasi ruang keluarga keheranan. Mami sampai menghampiriku ke kamar dan menanyakan yang terjadi. Ngomong-ngomong, kami memang sudah kembali tinggal bersama Mami-Papi. Jadi ketika keduanya mengetahui apa yang terjadi, tentu saja mereka ikut bersemangat menunggu hasilnya.

DD/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang