28. Differential Diagnosis

731 106 10
                                    

Bukan untuk menang kalah
Tapi tentang bagaimana
Kau bangkit berkali kalinya
Sebesar apapun hasilnya
Nikmati perjalanannya
.
.
Chintya Gabriella - Nikmati Perjalanannya
.
.
.
.
.
.

Bumi terus berputar; matahari menghadirkan pagi, senja, hingga malam;  hujan tergantikan panas; pucuk daun mengering; bunga bermekaran. Semuanya menjadi pengingat bahwa apapun yang terjadi, hidup akan terus berjalan. Dan itulah yang saat ini sedang kami lakukan, menjalani hidup sebaik mungkin.

Bulan-bulan kemarin mungkin cukup berat dilewati oleh kami berdua, tapi nyatanya kami bisa sampai juga di hari ini. Dimana rutinitas kami bertambah dengan satu proses pengobatan yang dilakukan Yudhis, yaitu kemoterapi. Bukan hal yang mudah, tapi tidak seberat yang sempat dibayangkan. Seperti banyak orang bijak bilang, badai akan berlalu. Dan meski mungkin badai kami belum berlalu saat ini, kami percaya, akan ada waktu nanti untuk kami.

Senyumku terkembang ketika Yudhis memperbaiki posisi selang yang tertancap di tangannya demi tetap membuatnya nyaman bergerak. Yah, dia memilih mengerjakan tugas di laptopnya di sela obat kemoterapi masuk ke dalam tubuhnya. Padahal aku sudah menawarinya untuk menonton film atau apapun itu yang membuatnya lebih santai selama satu jam pengobatan.

Yudhis sudah memasuki sesi keempat kemoterapinya. Dokter Raihan, selaku spesialis kanker yang menangani Yudhis, menjadwalkan pengobatan selama enam bulan dengan siklus satu minggu on dan tiga minggu off. Yang artinya, Yudhis hanya perlu mendapat pengobatan satu kali dalam sebulan, disesuaikan dengan hasil pemeriksaan lanjutan yang dilakukan pasca jenis tumornya diketahui.

Dan yang membuat kami bersyukur, sejauh ini respon tubuh Yudhis sangat baik. Ada masa dimana Yudhis hanya bisa berbaring seharian dan di saat seperti itu, aku selalu berusaha menemaninya. Tapi untungnya tidak berlangsung lama. Tidak ada efek samping berlebihan padanya, Yudhis masih bisa menanganinya.

"Permisi." sapaan dari pintu mengalihkan perhatian kami. "Eh, belum selesai ya?" Ternyata Milly, yang memang sudah membuat janji temu denganku. Dua bulan lagi pernikahannya akan dilangsungkan, dan hari ini Milly mengajakku pergi ke tukang jahit langganannya untuk membuat kebaya pendamping pengantin.

"Sebentar lagi. Tunggu dulu nggak apa-apa ya?" kataku.

Milly mengangguk sebelum kemudian mendekati Yudhis dan mengintip layar di hadapannya.

"Widih, mahasiswa yang satu ini kenapa rajin banget sih? Perasaan tadinya nggak ada niat kuliah lagi tuh." sindirnya pada Yudhis.

Aku kembali tersenyum, menertawakan kehidupanku belakangan ini yang penuh kejutan. Iya, banyak rencanaku yang berubah. Termasuk rencana sekolah lagi. Aku sudah mengundurkan diri dari program profesi dokter spesialis kebidanan dan kandungan dimana aku sudah lolos tes administrasi dan tinggal menunggu ujian tulis. Program PPDS terlalu padat untuk dijalani olehku yang ingin mendampingi Yudhis dalam setiap proses pengobatannya.

Namun, tanpa diduga, tawaran pendidikan pascasarjana tiba-tiba datang. Memang bukan dari kampus yang sama dengan almamater kami, tapi jurusan yang ada membuat Papi ikut bersemangat dan mendukung. Magister Managemen Rumah Sakit. Karena ternyata, itu adalah kampus dan jurusan yang diambil oleh Papa Adrian ketika koas dulu.

Yang lebih mengejutkan, Yudhis yang tadinya tidak berencana kuliah pun ikut tertarik. Hingga akhirnya, kami berdua mencoba mendaftar dan lolos. Sangat di luar rencana ketika aku dan Yudhis tiba-tiba sudah menjadi mahasiswa lagi. Membuat kami kembali menjadi teman satu kelas, seolah pertemanan sejak TK hingga menjadi Dokter belum cukup. Ya, memang tidak akan cukup, karena aku sudah resmi menjadi teman hidupnya.

"Ganggu deh. Kenapa dibolehin masuk sih, Di?" Aku menggeleng malas. Jika ada yang tidak berubah, salah satunya adalah perdebatan Yudhis dan Milly. Keduanya seperti terkena sindrom sibling rivalry padahal tidak memiliki hubungan darah apapun.

DD/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang