24. Selalu Ada Hal Baik

649 92 8
                                    

"Kenapa?" tanyaku ketika mendengar Yudhis terkekeh di tengah keheningan kamar perawatan.

"Lucu aja. Aku pernah kepikiran, oke juga nih Keluarga Pramana, rumah sakitnya nggak sekedar memprioritaskan anggota keluarga, tapi sampe punya bangsal khusus yang bener-bener cuma boleh diisi sama keluarganya. Eeh, aku beneran nyobain ruangan ini tepat setelah aku resmi jadi Keluarga Pramana."

Iya, Yudhis mulai masuk ruang perawatan malam ini karena operasinya dijadwalkan besok pagi. Sesuai rencana, Prof Brama - Konsulen Bedah Saraf yang merawat Yudhis, akan melakukan operasi pengangkatan tumor tepat satu minggu setelah pernikahan kami di Rumah Sakit Prama Medika. Dan tentu saja, dia menempati bangsal khusus keluarga. Ini bukan hal yang menggembirakan tentunya, jadi aku hanya bisa menahan senyum kecut dan ikut terkekeh menanggapi ocehan Yudhis.

Aku tidak ingin menyanggah, karena mungkin itu caranya menenangkan diri. Tidak mudah bagi kami melewati ini, terutama Yudhis. Bagaimana tidak? Setelah menghabiskan masa bulan madu selama tiga hari di hotel tempat pernikahan kami berlangsung, aku dan Yudhis langsung menemui keempat orang tua kami untuk menyampaikan kabar buruk. Sudah bisa ditebak, Mama dan Mami menangis, sedang yang lain tidak berhenti memberi pelukan pada Yudhis. Kami masih bersyukur, saat itu Papi sangat baik-baik saja. Malah Papi segera berkoordinasi dengan managemen rumah sakit untuk menyiapkan segala keperluan Yudhis.

Dan malam ini, bukan hanya aku yang menemani Yudhis, tapi keempat orang tua kami ikut menginap meski menempati kamar lainnya. Kami harus berterima kasih pada tim bangsal, yang meski banyak direpotkan, namun masih bisa menjaga privasi kami. Karena sesuai permintaan Yudhis, dia tidak ingin banyak orang yang tahu.

"Ada masukan nggak buat pelayanan di sini?" balasku berkelakar.

"Wah, calon Direktur Yankes ini kayaknya." Yudhis mencubit hidungku main-main, membuat aku menepuk dadanya yang saat ini menjadi tempatku bersandar. "Papi sama Mami seneng banget pasti kalo kamu mau masuk managemen."

Detik ini, aku bahkan tidak ingin memikirkan apapun selain kesembuhan Yudhis. Bahkan rencana PPDS yang sudah berjalan pun tidak mampu mengalihkan kekhawatiranku pada Yudhis. Aku hanya ingin menghabiskan waktu dan pikiranku untuk mendampingi Yudhis.

Ternyata butuh lebih banyak energi untuk mendampingi pasien. Meski Yudhis nampak sangat tenang karena dirinya yang seorang dokter, tetap tidak mudah bagiku untuk selalu terlihat tegar dan bersikap biasa di tengah cobaan pernikahan kami yang bahkan baru hitungan hari. Ada saatnya mataku tiba-tiba berkaca di tengah kebersamaan kami, padahal Yudhis sedang berkelakar.

Puncaknya, aku tidak bisa menahan tangis ketika akhirnya kami berhasil melewati malam dengan saling menyatu untuk pertama kalinya sebagai suami-istri. Setelah sebelumnya, kondisi Yudhis membuat kami batal melakukannya. Untungnya ketika itu, Yudhis percaya kalau tangisku disebabkan rasa sakit yang tidak bisa kutahan. Dibanding membiarkannya merasa dikasihani, aku lebih memilih Yudhis salah paham. Meski resikonya, Yudhis tidak pernah lagi berusaha menyentuhku hingga hari ini.

"Makanya kamu harus sehat, biar bisa nemenin aku di managemen." Aku mengeratkan pelukanku pada Yudhis.

Tidak mampu menyembunyikan sendu, aku menghindari tatapan Yudhis dengan menunduk di dadanya. Meski begitu aku tahu, Yudhis paham. Terasa dari keterdiamannya dan pelukannya yang juga ikut mengerat. Membuat aku menyesal di detik selanjutnya, karena seharusnya aku menguatkannya.

Tapi sekali lagi, ini Yudhis, lelaki yang tidak perlu aku ragukan lagi pengertiannya - meski belum lama aku menyadarinya. Di waktu rapuhnya, Yudhis tetap mampu menenangkanku.

"Iya dong, susah payah dapet Putri Mahkota, masa aku nggak dapet jabatan?" kelakarnya mampu membuat kami terkekeh.

"Jadi aku dimanfaatkan ceritanya?" balasku dengan kelakar yang sama.

DD/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang