7. Yang Berharap

675 99 10
                                    

Telah lama
Kutahu engkau punya rasa untukku
Kini saat dia tak kembali
Kau nyatakan cintamu

Namun aku takkan pernah bisa
.
.
Raisa - Terjebak Nostalgia
.
.
.
.
.
.
"Di rumah ada siapa, Dhis? Udah lama banget nggak ketemu Tante sama Om." kataku ketika mobil Yudhis memasuki halaman rumahnya.

Aku memindai rumah Yudhis yang nampak sepi. Cukup lama tidak berkunjung, tidak banyak yang berubah dari rumah ini. Termasuk sama sepinya seperti dulu. Aku jadi ingat alasan Yudhis lebih sering bermain ke rumahku. Tidak sepertiku yang tinggal bersama Oma dan Opa sebelum keduanya berpulang, sejak dulu Yudhis hanya tinggal bersama kedua orang tuanya. Rumah sebesar ini ditinggali hanya oleh tiga orang saja, jelaslah sepi. Jadi dia ikut senang ketika para sepupuku sedang berkunjung ke rumah karena teman mainnya semakin banyak. Apalagi sepupuku kebanyakan laki-laki. Dia menemukan teman yang jauh lebih menyenangkan dibanding aku yang banyak dilarang.

"Kayaknya cuma Bu Ami sama Mbak Yani. Papa dinas ke Spore ditemenin Mama, tapi harusnya malam ini sampai rumah." jawab Yudhis.

Kami sudah tinggal berdua saja di mobil karena yang lain lebih dulu diantar ke rumah masing-masing oleh Yudhis.

"Tumben Tante ikut." kataku sembari merapikan barangku sekaligus barang-barang di mobil Yudhis yang cukup berantakan. Dan semakin terlihat jelas ketika lampu mobil menyala seperti sekarang. Kebiasaannya yang sering membuat tanganku gatal.

"Pengen belanja katanya. Biarin aja, Di." Aku mencebik malas, Yudhis selalu berbasa-basi melarangku beberes.

"Kalo nggak diberesin tetep berantakan, Dhis. Ini struk belanja masih dipake nggak? Ini.. parkir buang ya?" Aku memilah sampah kertas di sekitar jok pengemudi.

Tanpa kuduga, Yudhis menahan tanganku yang sedang bergerak memindahkan barang. Tentu saja aku menatapnya penuh tanya.

"Di, apa ini udah waktunya buatku?"

Tanpa sadar, nafasku tertahan selama beberapa detik sebelum menghembuskannya perlahan demi menenangkan diri setelah mendengar pertanyaan Yudhis. Aku berusaha melepaskan diri dari genggaman Yudhis dan kembali memunguti kertas yang masih berserakan.

"Kamu tuh kecapean apa gimana habis PP Jakarta-Bandung? Ngelantur." kataku setenang mungkin.

Namun tangan Yudhis kembali menahan tanganku. Dia bahkan menyingkirkan kertas yang kupegang dan membuangnya kasar ke tempat sampah.

"Diandra, jangan gini dong." Yudhis menatapku lelah. Jelas kan dia kelelahan?

"Kamu yang jangan gini, Dhis. Kita udah pernah bahas ini lho." Aku mengambil tasku, bersiap turun dari mobilnya. Ini sudah cukup larut dan aku harus segera tidur.

"Itu udah bertahun-tahun lalu. Please, kali ini kasih aku kesempatan yang sama."

Aku kembali menghela nafas, tidak menyangka kalau akan mengulang percakapan yang sama dengan Yudhis. Bahkan setelah kupikir masa itu sudah lewat. Ketika kami SMA, Yudhis pernah meminta kesempatan untuk menjadi lebih dari sahabat untukku. Ya, Yudhis menyatakan cintanya padaku.

Saat itu aku merasa ada hal yang membuatku tidak bisa menerima Yudhis, meski aku sangat nyaman dengannya. Aku menyampaikan juga pada Yudhis yang jelas sangat paham alasanku. Dan karena tidak ingin merusak hubungan kami yang begitu stabil sebagai sahabat, kami sepakat melupakan pembicaraan itu.

Aku tetap menyayanginya dan dia pun tetap menjadi temanku yang paling dekat. Bukan hanya karena kami tetangga dan selalu satu sekolah, tapi aku memang senyaman itu dengannya.

DD/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang