Tatap matamu terasa berbeda
Buatku bertanya-tanya
Tutur katamu sedikit terbata-bata
Ada apa
Dan pelukanmu pun terasa dingin
Seolah ingin tak ingin
Saat ciummu pun terasa pahit
Sekejap aku sadari
.
Raisa - Sang Rembulan
.
.
.
."Diandra Alana Radinka!"
Aku langsung meletakkan telunjuk di depan mulut ketika suara melengking Milly membuat seisi kantin nyaris menoleh pada kami. Kebiasaan! Sahabatku satu ini memang paling ekspresif, kadang kelewatan hingga tidak tahu tempat.
"Behave yourself, Camille Prakasa." bisikku sembari duduk di kursi yang baru saja ditarik Gandhi. "Makasih, Dhi." ucapanku dibalas usapan di kepala oleh Gandhi yang kemudian pamit mengambil makanan.
Selepas bakti sosial hari kedua, kami disediakan makan siang plus hiburan di area kantin sebagai ucapan terima kasih sekaligus penutup dari rangkaian acara bakti sosial alumni tahun ini. Keempat sahabat kami sudah berada di salah satu meja panjang, sedang aku dan Gandhi memang datang belakangan karena bagian kami baru selesai. Untungnya, band yang berada di atas panggung kecil mulai tampil sehingga perhatian yang sempat tertuju pada meja kami seketika beralih.
"Sorry. Abisnya lama banget nggak ketemu kamu. IGD rame terus ya?" Milly meringis sembari mengusap pundakku yang duduk di sebelahnya. Si penyayang ini memang begitu manis, aku sangat bersyukur memilikinya sebagai sahabat.
"Lebih rame trauma centre kayaknya. Kemarin langsung jaga kan?" Kemarin kami tidak sempat bertemu karena Milly buru-buru kembali ke rumah sakit untuk jaga.
"Banget! Tiada hari tanpa bergerak di sana tuh."
"Lebay!" cerita dramatis Milly dibantah oleh Yudhis, rekan satu bagiannya.
"Ih, dia mah tukang ngabur, Di! Bilangin sama Mami kamu." adu Milly. Aku nyaris mendengus ketika teringat komentar Mami tentang Yudhis, yang ada Mami malah memujinya.
"Kamu masih suka disuruh gantiin dia?" kataku sembari menahan tawa. Meski sudah menggerutu panjang lebar tentang kelakuan Yudhis, nyatanya Milly memang tidak bisa menolak permintaannya.
"Ya gimana lagi, nanti yang jaga siapa kalo Yudhis nggak bisa." aku hanya bisa menggelengkan kepala menatap Yudhis yang menyeringai geli karena berhasil memanipulasi kebaikan hati gadis polos di sampingku.
"Nggak makan, Di?" suara Grace yang duduk di depanku membuatku beralih dari keributan Milly dan Yudhis. Namun tidak perlu aku jawab, karena Gandhi yang meletakkan semangkuk mie ayam di hadapanku sudah menjawab pertanyaannya. Grace hanya mengangguk paham ketika aku meringis padanya.
Dalam persahabatan kami, Gracia Tungga Dewi menjadi si paling irit bicara. Dia ini antitesis-nya Milly si ekspresif dan banyak bicara. Biar begitu, perhatiannya tidak kalah dari Milly. Walaupun kadang disampaikan dengan nada dingin dan ketus, kami semua paham kalau Grace sangat menyayangi masing-masing kami.
"Makasih, Dhi. Batagor lagi? Nggak bosan?" tanyaku ketika melihat semangkuk batagor kuah - lagi - di hadapannya. Kemarin dia sudah membeli batagor karena menu makan siang kami adalah nasi kotak, dan sekarang lagi-lagi dia mengambil batagor?
"Belum bosan, Di." Gandhi menyeringai manis. "Lagi pada ngomongin apa?" Gandhi baru menyapa yang lain karena tadi dia langsung mengambil makanan.
"Oh iya, Dhana tadi lagi cerita rencana PPDS-nya." ucapan Milly membuat kami semua menatap Dhana yang tersenyum kalem.
Andi Wardhana si paling 'lurus' di antara kami. Selama mengenalnya, aku belum pernah mendengar Dhana memengutarakan usul nyeleneh. Dia tidak pernah absen di kelas manapun, termasuk dengan alasan sakit. Karena dia selalu menjaga keteraturan dalam hidupnya, termasuk menjaga makanan dan olah raga sehingga tubuhnya selalu sehat. Tidak ada dalam kamusnya istilah membolos, bahkan di mata kuliah yang boleh membolos sekalipun.

KAMU SEDANG MEMBACA
DD/
ChickLitDD/ alias Diagnosis Banding, merupakan daftar kemungkinan kondisi yang memiliki gejala yang sama. *** Lima tahun menjalani hubungan yang manis, Diandra Alana Radinka selalu yakin bahwa Gandhi Wicaksana adalah lelaki yang diciptakan untuknya. Namun...