Mengulang sendiri
Ke sudut memori
Ruang tempat kita
Saling lempar puji
Kau dan aku punya
Dunia sendiriTetap terpejam kuingat harummu
Tak mau terjaga
Sadar kau tak ada
.
.
Yura Yunita - Sudut Memori
.
.
.
.
."Didi?"
"Gandhi Wicaksana?"
"Radinka?"
"Iya! Ya ampun.. "
"Sebentar. Sagara Danta Yudhistira. Astaga.. Aku nggak ngeh."
"Ini harus banget ya kita ngobrol di antara tirai gini? Nak, Dokter Gandhi ini teman Mima sama Papa. Boleh ya kita buka tirainya?"
Waktu aku bilang kehadiran Gandhi sangat meringankan bebanku, jangan berpikir bahwa hal itu ada kaitannya dengan cerita romantis kami di masa lalu. Sama sekali bukan. Tidak sekalipun aku berpikir ke arah sana. Cerita kami sudah tutup buku dan berakhir dengan baik. Meskipun sudah lama kami tidak berkomunikasi, sama sekali. Gandhi memang seperti menghilang di kehidupanku, tapi aku yakin dia sudah bahagia dengan kehidupannya.
Lihat saja, Gandhi yang aku temui hari ini sudah menjalani hidupnya dengan baik. Selesai S2 di London, Gandhi langsung melanjutkan pendidikan spesialis anak di universitas favorit di Jakarta. Setelahnya, dia diangkat menjadi tenaga pengajar tetap di sana. Dia juga praktik di salah satu rumah sakit swasta terkenal seantero Ibukota, dimana anak-anakku dirawat sekarang.
Begitu juga aku, yang meski tidak selancar hidup Gandhi, aku bersyukur atas apa yang aku punya hari ini. Jadi, ini bukan tentang cerita masa lalu. Satu-satunya alasan yang membuatku senang bertemu dengannya adalah Divya yang merupakan fans nomor satu Yudhis, seketika luluh dan mengizinkan tirai yang sejak tadi menutupi ranjang kami dibuka.
Meski Yudhis sudah berpulang lima tahun lalu, kami selalu berusaha menghidupkan sosoknya untuk anak-anak. Kami - aku dan kedua orang tua kami - bersyukur, sepanjang hidupnya, Yudhis banyak berteman hingga memiliki kenangan baik di mana-mana. Keluarga kami selalu menceritakan hal baik tentang Yudhis, begitu juga dengan sahabat kami. Bagaimana cerdasnya, perhatian, ringan tangannya Yudhis di mata mereka tidak pernah menjadi cerita yang membosankan di telinga anak-anak.
Seperti harapan Yudhis, anak-anak selalu bangga padanya meski Yudhis sudah tidak bisa mendampingi mereka. Karena itu juga, anak-anak akan senang bertemu dengan teman Yudhis dan berharap bisa mendengar lagi cerita tentang kebaikan Papanya. Kenapa hal itu menguntungkan? Paling tidak, Divya tidak akan mengamuk lagi ketika jadwal kunjungan dokter karena kami masih akan berada di sini beberapa hari sampai kondisi anak-anak aman.
"Om Gandhi beneran temen Papa nggak sih, Mim?" tanya Divya satu malam setelah Gandhi mengecek kondisinya.
"Bener dong. Mima, Papa, Tante Grace, Tante Milly, Om Dhana, itu sekolah bareng Om Gandhi." jelasku.
"Oh gitu." Divya menampakan raut tidak puas, sehingga aku bertanya kenapa. "Soalnya Om Gandhi nggak cerita banyak soal Papa kayak temen Papa yang lain. Padahal aku kan tanya-tanya tadi."
"Oh iya?" Aku meringis membayangkan kejadian tadi.
"Om Gandhi dulu suka main sama Papa?"
"Iya."
"Main apa?"
"Ehm, main apa ya? Banyak. Om sama Papa kalian dulu sering belajar bareng, makan bareng, olahraga bareng, pokoknya banyak."
"Seru banget! Om sama Papa punya kesukaan yang sama ya?"
"Hah? Ya gitu.. "
Aku paham sekali, yang Divya harapkan, setelahnya Gandhi akan bercerita hal-hal yang disukai Papanya. Sesederhana pelajaran yang disukai, makanan favorit, atau olahraga yang mereka mainkan bersama. Tapi entah bagaimana pertanyaan itu dipahami Gandhi, karena setelahnya Gandhi hanya membahas kondisi anak-anak.
KAMU SEDANG MEMBACA
DD/
ChickLitDD/ alias Diagnosis Banding, merupakan daftar kemungkinan kondisi yang memiliki gejala yang sama. *** Lima tahun menjalani hubungan yang manis, Diandra Alana Radinka selalu yakin bahwa Gandhi Wicaksana adalah lelaki yang diciptakan untuknya. Namun...