38. Hati ke Hati

535 89 27
                                    

Apakah cinta masih sama jika kau tahu ujungnya
Satu perkenalan, dua pendekatan
Apa kau bosan?

Bencana-bencana di luar rencana
Janji-janji fana membuat merana
.
.
Donne Maula - Bercinta Lewat Kata
.
.
.
.
.

Membuka hari dengan menolong pasien dan menutupnya dengan bermain bersama anak-anak, sepertinya menjadi kombinasi yang super untuk membuatku kelelahan. Di perjalanan pulang setelah bermain - makan - bermain - makan lagi, aku tidak kuat menahan kantuk. Berulang kali aku menguap hingga Gandhi menyuruhku untuk tidur saja seperti anak-anak. Meski aku tidak banyak mengobrol dengannya, aku rasa tidak sopan jika aku tertidur di saat dia harus menyetir sendiri.

Namun ketika panjangnya kemacetan pada sempitnya jalan di Lembang menjadi pemandangan yang monoton dan membosankan, mataku akhirnya menyerah juga. Entah berapa lama aku tertidur, akupun tidak sadar. Sampai akhirnya suara lembut Gandhi dan usapan pelan di pelipis dan bahuku, membuat mataku yang masih berat mengerjap.

"Sorry." ucapku ketika sadar mobil yang kami tumpangi sudah berada di halaman rumahku.

"Ngantuk banget ya?" Gerakan tangan Gandhi yang menyelipkan rambutku ke telinga, membuat aku melawan rasa kantuk dan menegakkan tubuh. Aku hendak merapikan ikat rambut sembari mengecek anak-anak sebelum tersadar kalau mereka sudah tidak ada di mobil. "Anak-anak udah aku pindahin ke kamar. Mereka kayaknya capek banget sampe nggak kebangun. Mau kamu bangunin nggak buat bersih-bersih dulu?" Aku menggeleng setelah tahu kalau sekarang sudah jam delapan malam, kasihan anak-anak kalau tidurnya terganggu.

Aku menatap Gandhi yang raut kelelahannya tidak bisa ditutupi. Bagaimana tidak, seharusnya hari ini dia bisa beristirahat setelah seminggu penuh bekerja. Namun yang dia lakukan malah mencari kesibukan lain di sini.

"Thank you, Dhi. Aku sama anak-anak udah ngerepotin banget hari ini. Tapi maaf--" Aku benar-benar tidak bisa menerima semua kebaikannya, apalagi menerimanya untuk kembali mendekat. Namun kata-kataku tertahan oleh senyum lembutnya yang muncul lagi. Gandhi tahu sekali aku akan menolaknya, sehingga dia lebih dulu bicara.

"Didi, travelku baru akan jemput dua jam lagi. Keberatan nggak kalau kita ngobrol dulu?"

Aku bukan gadis remaja yang polos dan tidak paham tujuan Gandhi. Lelaki dan egonya. Mereka tidak akan berhenti sebelum apa yang ada di kepala bisa terwujud nyata di hadapannya. Aku yakin, yang akan Gandhi bicarakan tidak jauh dari pembicaraan kami minggu lalu.

Dengan berbagai pertimbangan, aku mengangguk. Aku tidak keberatan kalau harus kembali menegaskan padanya penolakanku minggu lalu, bukan tidak ada artinya. Gandhi harus paham bahwa usahanya akan sia-sia. Bukan hanya aku tetap akan menolak, tapi aku juga ingin menyadarkan bahwa dia masih bisa mendapatkan perempuan yang jauh lebih segalanya dariku.

Setelah menyapa sekaligus berpamitan dengan Mami dan Papi yang akan pergi tidur, aku memilih untuk bicara dengan Gandhi di ruang tamu. Gandhi duduk di sofa panjang, sedang aku di sofa tunggal. Persis sekali seperti tuan rumah dan tamunya. Bagiku, ini juga salah satu batasan yang aku berikan padanya.

"Mau dibikinin minum dulu nggak, Dhi?" tanyaku basa-basi.

"Nggak usah, Di, air putihku masih ada." Aku mengangguk kemudian berdehem.

"Sekali lagi, aku mau bilang terima kasih untuk hari ini. Tapi aku serius waktu bilang kalo aku nggak bisa menerima semua kebaikan ini." Lagi-lagi, aku harus mengatakannya.

Aku sangat berharap Gandhi paham, karena aku sudah cukup merasa bersalah memperlakukannya seburuk ini. Gandhi orang baik. Aku tidak ingin memperburuk hubungan kami yang memang tidak begitu baik sebelum ini.

DD/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang