26. Hidup Baru

647 90 9
                                    

Tak tahu bagaimana
Aku tanpa dirimu
Tak pernah terbayangkan
Sepi merindu

Kumohon padamu
Tetaplah kau di sampingku
Hilangkan ragu
Semua yang kan menggangu
Kucinta padamu kasihku
.
.
Rizky Febian - Seperti Kisah
.
.
.
.
.
.

"Diandra."

Aku sedang membaca salah satu catatan yang kubuat untuk persiapan ujian tulis program spesialis ketika suara lirih itu terdengar. Suara yang dua hari ini aku tunggu, tapi mampu membekukan tubuh dan pikiranku hingga tidak bereaksi apapun. Aku hanya berlama-lama menatap matanya yang juga tidak lepas menatapku, khawatir apa yang kulihat dan kudengar saat ini hanya khayalan. Hingga sebuah senyum yang sangat aku kenal lebih dulu terkembang --nyaris terkekeh sebenarnya.

"Sayang, aku haus." ucapnya lagi dengan lebih kencang, meski masih terdengar berbisik.

Tersadar, aku menyimpan buku dengan panik sebelum menekan tombol untuk memanggil perawat. Aku mendekati ranjang untuk memastikan bahwa Yudhis benar-benar sudah sadar.

"Mas, apa-- kamu gimana-- ada yang sakit?" tanyaku terbata. Aku benar-benar panik dan kebingungan.

"Aku haus, Sayang. Udah boleh minum belum?" Yudhis mengulang permintaannya tepat ketika satu perawat mendekati kami.

"Oh, Dokter Yudhis udah bangun? Sebentar ya, dicek dulu sambil nunggu Dokter Nami."

Selanjutnya, perawat tadi melakukan pemeriksaan pada Yudhis. Dari mulai bertanya, memeriksa tubuh juga monitor tanda vitalnya, hingga membenarkan letak selang-selang yang mungkin mengganggu Yudhis. Tidak lama, Dokter Nami datang dan memeriksa Yudhis lebih detail, lebih lama dari yang dilakukan perawat. Dokter Nami memastikan fungsi dari seluruh tubuh Yudhis tidak ada yang terganggu setelah operasi tinggi resiko yang dilakukannya dua hari lalu. Apalagi selama dua hari ini juga Yudhis tidak sadarkan diri.

Sedang aku, hanya sanggup mengamati tanpa berbuat apapun. Justru Yudhis yang lebih dulu sadar dengan keterpakuanku, dia meraih tanganku untuk digenggamnya pelan dan memberi senyuman yang tidak pernah gagal menenangkanku. Hingga berangsur-angsur aku lebih tenang dan bisa menguasai diri.

"Kondisi Dokter Yudhis baik sekali ya, Dok. Hanya perlu pembiasaan gerak aja, kayaknya sedikit kaku karena kelamaan tidur. Bisa dicoba minum sedikit-sedikit, kalo oke nanti kita siapkan untuk pindah ke ruangan biar lebih nyaman."

Penjelasan Dokter Nami membuatku sepenuhnya lega dan bisa membalas senyum Yudhis. Aku mengusap pelan pipinya yang terasa dingin karena tidak bergerak sama sekali selama hampir dua hari setelah operasinya. Didampingi perawat, aku membantu Yudhis untuk minum dan mengubah posisi tidurnya menjadi sedikit bersandar agar lebih nyaman. Yudhis masih nampak meringis karena perubahan posisi ini, tapi lama-kelamaan dia bisa beradaptasi dengan baik.

"Sini aja, Di." Yudhis memintaku duduk di tepi ranjang ketika aku menarik kursi ke samping ranjang, dan tentu saja aku tidak menolak.

"Masih ada yang sakit nggak? Pusing?" tanyaku saat melihat Yudhis beberapa kali mengernyit.

"Sedikit. Rasanya pengen tidur lagi." jawabnya membuatku mengangguk dan nyaris menurunkan lagi sandaran ranjang agar dia bisa kembali beristirahat. "Tapi nanti aja. Aku kangen kamu."

Air mata yang sempat aku tahan, kembali muncul. Aku tercekat sebelum sempat membalas bahwa aku juga sangat merindukan Yudhis. Yang bisa aku lakukan hanya mengeratkan genggaman tanganku pada Yudhis, dan aku tahu kalau Yudhis sangat paham perasaanku karena setelahnya dia mengulum senyum geli.

"Jangan nangis, aku baik-baik aja. Aku masih bisa peluk kamu kalo mau." tangannya yang menganggur, terentang untuk menerima pelukanku. Sehingga aku pun menundukkan tubuh untuk dapat bersandar di dada Yudhis yang sedang berbaring. "Apa kabar, Sayang?"

DD/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang