23. Keegoisan Pertama

739 98 10
                                    

Meski waktu datang dan berlalu
Sampai kau tiada bertahan
Semua takkan mampu mengubahku
Hanyalah kau yang ada di relungku

Hanyalah dirimu
Mampu membuatku jatuh dan mencinta
Kau bukan hanya sekedar indah
Kau tak akan terganti
.
.
Kahitna - Takkan Terganti
.
.
.
.
.
.

"Meningioma."

Tumor otak.

Yudhis mempertegas diagnosis dari beberapa berkas hasil pemeriksaan yang kini tersebar di meja. Meski sempat membaca beberapa simpulan di sana, kepalaku tidak bisa memprosesnya dengan benar, saking terkejutnya. Aku bahkan lebih memilih memikirkan bagaimana cara Yudhis membawa berkas-berkas ini ke kamar hotel tempat kami akan menghabiskan waktu cuti menikah beberapa hari ke depan. Artinya, Yudhis sudah sangat menyiapkan ini.

Mataku menangkap tanggal pemeriksaan di tiap sudut berkas dan seketika hatiku terhenyak ketika mendapati semuanya dilakukan kurang dari satu pekan sebelum pernikahan kami. Artinya, ketika aku pikir kami butuh membangun ruang rindu sebelum menjadi suami-istri, Yudhis justru berjuang sendiri dengan penyakitnya.

Ini terlalu mengejutkan sehingga aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Kepalaku begitu ribut. Padahal, sebagai dokter di IGD aku terbiasa memberi informasi yang segera pada keluarga pasien dan tahu pasti respon apa yang diharapkan. Penjelasan Yudhis mengenai ukuran dan lokasi yang menurut Dokter Konsulen masih aman dan mudah dijangkau dalam pembedahan, tetap tidak menenangkan. Dan sekalipun Yudhis sudah berhenti menjelaskan, aku masih terdiam dengan tatapan nanar pada berkas-berkas di hadapanku.

Aku menatap matanya yang kali ini rautnya jelas, cemas. Membuat aku paham arti dari ekspresi tidak terbaca yang sebelumnya aku lihat. Tentu saja bukan hal yang mudah untuknya, untukku, juga untuk keluarga kami. Kabar ini pasti mengejutkan semua orang yang baru saja ikut bahagia atas pernikahan kami.

Sebagai dokter, kami dilatih untuk selalu berempati pada pasien. Empati diartikan dengan memahami perasaan pasien dan membantunya untuk mengontrol perasaan tersebut yang berkaitan dengan proses kesembuhannya. Karena itu, aku selalu mengajak pendamping pasien untuk tidak menunjukkan kesedihan atau ketakutan mereka demi memberi kekuatan tambahan pada pasien. Bukan malah ikut bersimpati atau bahkan merasa iba.

Namun di titik ini aku menyadari, sekuat apapun aku mencoba untuk bersikap suportif, perasaanku pada Yudhis membuat aku tidak mampu melakukannya. Hingga tangisku pecah ketika tanpa berkata lagi, Yudhis menarikku dalam pelukannya. Keterkejutan, rasa bersalah, dan ketakutan bergulung menjadi satu, menghasilkan sesak yang membuat nafasku terputus-putus. Entah kenapa rasanya jauh lebih mengerikan dibanding ketika menghadapi Papi sakit. Mungkin karena aku baru saja dilambungkan oleh kebahagiaan yang bertubi lewat pernikahan kami yang lancar, untuk kemudian jatuh sejatuh-jatuhnya dalam perasaan yang berlawanan.

Sedih dan takut.

Sepertinya itulah yang tepat menggambarkan perasaanku saat ini. Dan semuanya tumpah dalam pelukan Yudhis. Dia sahabatku, teman hidup, dan cinta yang baru saja aku temukan. Kenapa rasanya harus sesakit ini? Di tengah tangisku, aku menarik diri untuk menatap lagi wajahnya. Dan hatiku kembali mencelus ketika Yudhis nampak semakin frustasi hingga aku sadar kalau sikapku salah. Aku tidak boleh semakin membebaninya.

"Apa yang sakit?" tanyaku dengan tercekat di sela tangis.

"Maaf." Di luar dugaan, Yudhis malah tidak menjawab. "Aku egois karena nggak mau kamu pergi setelah tau penyakit ini. Aku egois karena mau kamu nemenin aku melewati ini. Aku egois karena merahasiakan ini sampe kamu jadi istriku."

"Mas!" Aku menghentikannya. Ucapan Yudhis barusan, sama sekali tidak masuk akal untukku. "Aku nggak akan kemana-mana!" Aku kembali memeluknya erat.

Bagaimana mungkin dia justru memikirkan hal tidak penting seperti itu? Sekalipun aku tahu lebih awal, aku tidak berniat mundur dari pernikahan ini - kalau itu yang dia pikirkan. Yah, aku lupa, memang tidak mudah di posisi pasien. Bukan hanya memikirkan penyakit, tapi pasien juga akan memikirkan banyak hal. Khusus untuk Yudhis, terkait tindakan dan perawatan mungkin bukan masalah, tapi respon keluarga kami yang jelas dikhawatirkannya.

DD/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang