18. Romantisasi

693 97 13
                                    

Kita bikin romantis
Bikin paling romantis
Sambil bermain mata,
Turun ke hati,
Hatinya jatuh

Kita bikin romantis
Yang paling romantis
Sambil gandengan tangan
Hati pelukan
Di angan syahdu
.
.
Maliq & D'Essentials - Kita Bikin Romantis
.
.
.
.
.
.

"Meni mantap ya, malam mingguan bukan bareng suami malah sama full bed."

"Sama-sama ngurus kasur tapi jauh beda ya, Dok."

"Bodor ih, Dita!"

"Lagian tumben Teh Rika mau jaga malam, di malam minggu pula."

"Minggu depan mau honeymoon, Di. Si Dimas mau gantiin asal aku jaga malam minggu ceunah."

"Wah, Dokter Dimas paraaah. Udah punya pacar emang sekarang?"

"Apa hubungannya jaga malam minggu sama punya pacar?"

"Dita ih, ampun! Cocok pisan sama si Dimas. Moal lanjut malam ini teh? Biar si Yuni balik deui."

"Amit-amit ih, Dok!"

Obrolan acak meski dengan suara berbisik seperti ini selalu berhasil membuat delapan jam yang kadang begitu berat terasa lebih ringan. Apapun dibahas, asal bukan membahas kasus pasien yang sudah lewat. Apalagi yang berujung menyedihkan. Tenaga kesehatan seperti kami memang harus memiliki empati, tapi tidak boleh terbawa perasaan. Jadi alih-alih membahas hal serius di suasana santai, akan lebih baik saling menghibur.

Kami sedang menyelesaikan administrasi sebelum pergantian shift jaga. Aku menyerahkan pasien pada Teh Rika - dokter jaga setelahku, sedang Suster Dita menyerahkan sisa pekerjaannya pada Suster Yuni nyaris di jam sepuluh malam di malam minggu. Iya, di saat orang-orang menghabiskan akhir pekan, kami justru berjaga di rumah sakit. Ironi yang baru saja dibahas oleh Dokter Rika. Tapi kami menyikapinya dengan candaan, karena ini memang pilihan hidup kami dengan segala konsekuensinya.

"Didi balik sama siapa?" Dokter Rika bertanya.

"Tadi siang sih minta jemput Pak Ilham, Teh, tapi belum nanya lagi." balasku kemudian mengecek ponsel siapa tahu ada kabar mendadak dari Pak Ilham, tapi nihil.

"Itu bukannya Dokter Yudhis ya?" Kami yang sedang berdiri di balik meja nurse station sontak menoleh ke arah pintu karena ucapan Dita barusan.

Benar, di sana ada Yudhis yang berjalan ke arah kami. Senyumnya terkembang begitu mata kami bertemu, senyum yang juga menular padaku.

"Mau jemput kayaknya ya, Di?" tanya Dokter Rika.

"Kayaknya, Teh."

Sepertinya ini kejutan, bukan Pak Ilham tetapi Yudhis yang menjemputku. Jadwal jaganya pagi tadi, seharusnya malam ini dia sudah istirahat. Terlihat dari pakaiannya yang cukup santai, celana kargo pendek dengan kaos berbalut jaket. Tapi dengan manisnya dia malah menjemputku tanpa pemberitahuan.

"Malam semuanya." sapanya, yang dibalas sama ramah oleh kami semua. "Masih operan ya?"

"Udah selesai, Dok. Mau jemput Didi ya?" Dokter Rika yang menjawab.

"Iya, nih, Dok. Udah beres-beres, Di?" Yudhis kali ini menatapku.

"Belum. Nunggu sebentar nggak apa-apa, Mas?" Bukan hanya Yudhis yang nampak terpaku, Dokter Rika, Dita, dan Yuni pun menatap penasaran karena sapaanku pada Yudhis.

Yudhis memang memintaku memanggilnya dengan sapaan khusus, tapi seringnya hanya kulakukan ketika kami hanya berdua atau berada di antara orang dekat kami. Aku tidak menyangka ketika melakukannya di depan orang lain, efeknya begitu besar pada Yudhis. Dia tersipu. Seolah aku baru saja menggodanya.

DD/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang