8. Dia yang Tiba-Tiba

748 104 8
                                    

Ku cari tahu tentangmu
Tanggal dan tahun lahirmu
Ku pelajari rasi bintang menebak pribadimu
Tokoh kartun favoritmu
Dan warna kegemaranmu
Ku telusuri di titik mana kita kan bertemu
.
.
Tulus - Labirin
.
.
.
.
.
"Papi kemana, Mi?"

Aku hanya mendapati Mami di ruang makan ketika turun dari kamar. Padahal biasanya kami selalu sarapan bersama di pagi hari.

"Katanya nggak enak badan, jadi minta bangun agak siang." Aku merasakan remasan tak kasat mata di dadaku ketika mendengar jawaban Mami. Kemarin Papi sehat-sehat saja, apakah ini karena obrolan semalam? "Didi sampai jam berapa tadi malam? Maaf ya, Mami sama Papi nggak nungguin."

"Jam sepuluhan, Mi. Aku yang minta maaf pulangnya kemalaman. Pas nyampe rumah Yudhis, papasan sama Tante Ara dan Om Dharma yang baru pulang juga. Jadi ngobrol sebentar." ceritaku.

"Oh gitu, Mami udah lama nggak ketemu Tante Ara. Paling cuma chat aja kalo dia habis antar oleh-oleh. Masih suka jalan-jalan ya?"

"Kemarin juga baru dari Spore." kataku setelah mengangguk. "Sekalian ikut Om Dharma kerja."

Pekerjaan Om Dharma di salah satu perusahaan konsultan keuangan yang masuk jajaran top 10 dunia, membuatnya sering bertugas ke luar negeri. Tidak heran kalau rumah Yudhis sering sepi kan? Dan Tante Ara memanfaatkan ritme itu menjadi bisnis di bidang fashion. Aku tidak tahu detailnya, hanya saja Yudhis pernah bilang, Mamanya menjadi supplier resmi beberapa merk fashion terkenal dunia. Aku dan Mami bukan penggemar merk tertentu, apalagi dengan harga selangit, jadi tidak begitu paham detail bisnis semacam itu.

"Baik banget mereka, suka inget kita kalo kemana-mana. Sayangnya kita susah balasnya, orang nggak pernah kemana-mana." Mami terkekeh sendiri.

"Nasib jaga gawang ya, Mi. Kita balas jaga anaknya aja." timpalku berkelakar.

"Iya ya, dulu Yudhis sering banget makan bareng di sini. Sekarang udah nggak pernah ya, Di?"

Aku mengangguk dengan kesadaran yang membuatku tercenung. Saat sekolah dulu, hampir setiap makan siang, Yudhis berada di rumahku. Apalagi alasannya kalau bukan di rumahnya tidak ada orang. Hanya ada Bu Ami dan asisten rumah tangga yang beberapa kali berganti. Tapi kebiasaan itu perlahan menghilang.

Sejak kapan? Entahlah.

"Bu, ada A Yudhis." suara Teh Laila dari ruang tamu membuat aku dan Mami yang baru mulai sarapan menoleh.

"Eh, sini, Nak. Baru aja diomongin, orangnya datang." Aku melotot mendengar ucapan Mami, apalagi saat melihat seringai Yudhis yang kentara sekali kegeeran.

Memindai sekilas, Yudhis sepertinya sudah siap berangkat. Seingatku, dia memang mendapat jadwal jaga pagi di Trauma Centre. Sama seperti aku.

"Didi laporan apa, Tante?" tanyanya setelah menyalami Mami dan membuatnya terkekeh. Nah kan, ego si anak tunggal ini jelas tidak akan mengabaikan perhatian untuknya.

"Enggak. Tante tuh baru sadar kamu udah nggak pernah makan di sini lagi." kata Mami. Yudhis duduk di kursi sebelahku dan tertawa.

"Iya ya, Tan? Kalo gitu nanti aku sering-sering makan di sini lagi deh." balas Yudhis yang tentu saja diiyakan Mami dengan senang hati. Mami sempat menawarinya makan, tapi ditolak karena dia sudah sarapan di rumah. "Oh iya, Mama titip ini buat Tante sama Didi. Katanya cewek suka yang manis-manis." Yudhis menyerahkan sebuah paperbag pada Mami yang seketika diintipnya.

"Wah, ini sih kesukaannya Didi. Biasanya dari satu box gini, Tante cuma disisain 1." Mami dan Yudhis terkekeh. Aku ikut mengintip isinya yang ternyata cokelat, seringaiku terbit saat melihat camilan favoritku.

DD/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang