6. Tiada yang Salah

752 107 18
                                    

Benar atau salah kini tiada berarti
Biarkanlah
Sekuat tenaga ku harus melepasnya
.
.
Raisa - Biarkanlah
.
.
.
.
.
"Kenapa sih pada diem aja?" Aku menoleh pada Milly yang duduk di sebelahku, lalu Grace di kursi belakang, ketika suasana mobil terlalu hening.

Setelah mengantar Gandhi kembali masuk pintu keberangkatan dan benar-benar berpisah dengannya, kami memutuskan langsung pulang ke Bandung. Kami tidak ingin tiba terlalu malam di Bandung karena besok masih harus bekerja.

Namun setelah beberapa saat mobil yang dikendarai Yudhis bergabung dengan kendaraan lain di tol dalam kota dan masih tidak ada yang bicara, aku menyadari kecanggungan itu. Kecanggungan yang muncul sejak Gandhi mengumumkan perpisahan kami. Seketika itu mereka tidak berkomentar apapun, tapi aku bisa melihat kekagetan di semua mata sahabatku.

Gandhi yang juga sadar suasana canggung itu, segera menutup kalimatnya dengan permintaan tolong menjagaku - lagi - untuk kemudian mengalihkan pembicaraan. Berhasil, karena setelahnya kami membahas detail rencana studi Gandhi di sana. Namun aku tahu, mereka menyimpan banyak tanya. Dan sebagai orang terdekat, aku tidak ingin mereka tidak tahu apa-apa.

"Nggak ada yang mau nanya emangnya? Mil?"

Grace tidak banyak bicara memang biasa, tapi Milly jelas tidak. Aku tahu dia menahan diri sejak tadi. Namun di luar dugaan, yang berbicara lebih dulu malah Dhana. Dia memutar tubuhnya ke arahku dengan raut wajah menyesal.

"Di, kalian putus gara-gara aku ngasih tau soal LPDP ya?" tanyanya.

Aku berusaha menarik senyum, karena ternyata mengingat hal itu masih cukup menyakitkan rasanya. Awal dari perubahan pandanganku pada Gandhi.

"Kamu nggak ngasih tau juga akhirnya aku bakal tau, Dhan." jawabku. Kenyataannya, jika Dhana tidak bicara saat itu, mungkin aku benar-benar menjadi orang terakhir yang tahu.

"Aku beneran nggak enak kalo kalian putus gara-gara itu. Sorry ya." Dhana masih menunjukkan raut menyesal.

"Sama sekali bukan salah kamu, Dhan. Serius deh." kataku.

"Gandhi nggak ngasih tau dari awal." Aku menoleh ketika Grace bersuara. "Kamu pasti marah gara-gara itu kan?" Aku mengangguk.

"Kind of. Mungkin akumulasi juga, bukan cuma soal LPDP." jawabku.

"Aku sebenernya sedih banget lho, kalian putus. Kalian tuh cocok banget kelihatannya." Milly baru bersuara. Yah, dibanding semua orang, sepertinya aku dan Gandhi menjadi yang paling sedih karena perpisahan ini. Tapi, mau bagaimana lagi? "Gandhi kelihatan sayang banget sama kamu, kayak sebelum kamu ngomong juga dia udah paham. Kamu juga selalu bucin, Gandhi kan tipe kamu banget. Putih, tinggi, agak berisi, chubby, lembut ngomongnya.. "

"Sok tau!" tukas Yudhis. "Kelihatan cocok di luar belum tentu beneran cocok kali." lanjutnya dengan mata yang melirikku lewat spion.

"Ih, kamu tuh, temen baru putus bukannya dihibur!" balas Milly sengit.

"Ini kan bentuk hiburan buat Didi. Biar dia tau, nggak perlu dipaksakan kok kalo emang nggak cocok." jawab Yudhis lagi.

"Agree. Gimanapun kelihatannya, kalo pisah artinya nggak cocok lagi." Grace menimpali.

Jika Yudhis dan Milly yang berdebat, aku sudah biasa melihatnya. Mereka sepertinya punya magnet untuk saling menimpali. Entah sekedar meramaikan obrolan kami, atau memang sedang serius membahas. Namun ketika Grace ikut bersuara, artinya hal yang dibahas tervalidasi. Jadi, bolehkah aku sedikit lega dengan keputusanku kemarin?

"Ih, kok gitu. Tapi emang beneran nggak bisa dipertahankan ya, Di? Kalian udah lima tahun lho."

Terus terang, hingga detik ini, aku masih sering meragukan perpisahan kami. Sama seperti pertanyaan Milly, hal itu juga yang berulang kali aku pikirkan. Apa aku terlalu gegabah? Lima tahun yang hancur dalam waktu kurang dari satu bulan.

DD/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang