Lima bulan berlalu.
Jaemin pulang menggunakan bus.
Tidak jauh dari halte pemberhentiannya, dia berjalan kurang lebih seratus meter di jalan yang lebih kecil dan di sanalah restoran bibi Ae Ri berada.
Jaemin menghentikan jalannya tepat di depan restoran bibi Ae Ri. Terlihat Bibi Ae Ri dan satu karyawannya sedang sibuk melayani para pelanggan yang datang membeludak di jam makan malam ini.
Jaemin masuk ke dalam restoran, tanpa berpikir banyak dia mengjampiri Kim Ga Mi di balik pantri.
“Biar kubantu.” Kata Jaemin yang melihat Ga Mi kewalahan membawa banyak pesanan.
Ga Mi sempat terkejut melihat keberadaan remaja berkaus jingga itu.
“Jaemin~ah...” keluhnya dengan wajah lelah.
“Sini berikan padaku,” ucap Jaemin setelah memakai celemek hitam di badannya.
Tidak bicara banyak lagi, Ga Mi memberikan pesanan itu kepada Jaemin, dan segera menyiapkan pesanan lainnya.
Di tengah-tengah kesibukannya, bibi Ae Ri sempat memperhatikan gerak anak remaja itu. Dia tampak cekatan melayani setiap pelanggan. Mengantarkan pesanan, mencatat pesanan baru, dan membersihkan meja dari sisa-sisa makanan.
Sampai pukul sebelas malam, tugas terakhirnya membuang sampah di tempat pembuangan akhir samping restoran sudah dia lakukan. Jaemin masuk ke dalam restoran, membuka celemek, mencuci tangan dan membasuh wajahnya beberapa kali.
“Jaemin~ah...”
“Ne...” Jaemin menjawab panggilan bibi Ae Ri.
Dia segera menghampiri.
Restoran ayam bernuansa putih dan coklat kayu ini sudah terlihat sepi dari sebelumnya. Hanya tinggal menyisakan mereka bertiga.
Jaemin duduk menghadap bibi Ae Ri dan Ga Mi yang sudah menyantap paha ayam tanpa nasi.
“Cepat makan,”
“Untukku?”
Bibi Ae Ri mengangguk.
Mata Jaemin membulat, melihat dia di beri satu piring penuh paha ayam goreng.
“Sebanyak ini?”
“Tidak usah terkejut seperti itu, kalau itu terlalu banyak untukmu, biar aku bantu menghabiskan,” Kata Ga Mi.
Jaemin mengangguk kepada seorang perempuan berambut panjang diikat seperti ekor kuda di hadapannya, kemudian menatap bibi Ae Ri.
“Kamsahamnida, bibi.”
“Seharusnya aku yang mengatakan itu. Jaemin~ah... Ga Mi~ah... Gumawoyeo...”
“Ne...” ucap mereka berdua bersamaan.
Bibi Ae Ri memperhatikan dua orang di samping kanan dan di hadapannya itu. Ga Mi perempuan lugu yang memutuskan untuk berhenti kuliah dan mencari pekerjaan. Dan Jaemin... dari awal pertemuan anak ini berhasil mengambil hatinya. Dia sopan dan ramah senyum. Tak jarang jika jadwal kuliahnya libur atau Jaemin pulang lebih cepat, dia senang membantunya di restoran, seperti tadi.
“Beruntung sekali seorang Ibu yang melahirkannya.” Gumam bibi Ae Ri dalam hati.
Sudah hampir pukul 12 malam. Paha ayam goreng pun tak bersisa. Ga Mi pulang lebih dulu dijemput kekasihnya. Sedangkan Jaemin baru saja keluar dari restoran, hendak naik ke rumahnya.
Akan tetapi kakinya tertahan saat mendapatkan seorang pria tinggi memakai kemeja hitam panjang dan celana panjang dengan warna senada, sudah berdiri di seberang restoran sambil memperhatikannya.
Pria itu menyeberang menghampirinya.
“Jaemin-ssi?”
“Ne?”
Pria itu tersenyum. “Tunggu sebentar ada yang ingin bertemu denganmu.”
Kening Jaemin mengerut samar, dan kerutannya semakin tegas ketika si Pria membukakan pintu mobil untuk seseorang di seberang sana.
Perlahan kerutan di keningnya hilang saat melihat siapa yang keluar dari mobil itu.
Seorang perempuan paruh baya, memakai sweeter abu-abu.
“Ye Jun~ah...” panggilnya sambil berjalan menuju Jaemin.
“Ah?” mata Jaemin membulat.
Wanita berusia hampir tujuh puluh tahu itu kini sudah di hadapannya.
“Ye Jun~ah...” katanya lagi dengan suara bergetar. Kedua tangannya perlahan memegang pipi Jaemin.
Wanita itu kini menangis tergugu, lalu memukuli pundak Jaemin berkali-kali sambil terus menyebutkan nama “Ye Jun~ah...”
Jaemin hanya terdiam menatap iba wanita paruh baya yang tak henti-hentinya menangis. Jemarinya menggenggam kuat tangan wanita itu ketika hendak terjatuh.
Hingga Jaemin pun tidak sadar, pipinya telah basah oleh air mata.
“Halmoni,” ucapnya pelan nyaris berbisik.
***
Jaemin menatap neneknya. Wanita berambut putih itu sangat menikmati secangkir teh hangat dan beberapa kue kering yang Jaemin sajikan.
“Dari mana Halmoni tahu kalau aku tinggal di sini?”
“Ibumu.”
Kedua alis Jaemin terangkat.
“Beberapa hari yang lalu, ibumu menelepon memberiku kabar kalau kau memutuskan untuk berkuliah di sini. Maka dari itu aku cepat-cepat meminta Jong Wa untuk mencari alamat yang ibumu berikan.”
Jaemin mengangguk-angguk paham.
“Kenapa kau tidak pulang? Kenapa kau malah tinggal di rumah kecil begini?”
Jaemin diam sebentar. Jawaban itu tidak pernah ia persiapkan sebelumnya.
“Hanya ingin.” Jawab Jaemin asal.
“Ye Jun sudah membeli rumah besar di tengah kota Seoul. Dia menyiapkannya untukmu juga ibumu. Tapi kalian malah tidak menempatinya. Pulanglah, aku sudah tidak sanggup bulak-balik untuk mengurus rumah itu.”
Jaemin tersenyum tipis.
“Nanti saja, kalau aku sudah siap.”
“Kalau kau tidak berniat, sampai kapan pun tidak akan pernah siap.”
Nenek benar. Secercah niat pun tak ada dalam diri Jaemin untuk menginjakkan kakinya di rumah itu. Alasannya satu, hanya karena dia tidak ingin sering-sering melihat wajah ayahnya.
***
Jaemin terbangun disebabkan cahaya tipis matahari dari celah jendela. Dia menelisik seisi ruangan. Dia tidak di kamarnya.
Ah, ya... Jaemin ingat, tadi malam dia dipaksa ikut oleh Nenek untuk menginap di rumahnya. Karena saat itu sudah malam, Jaemin terpaksa ikut, agar neneknya segera beristirahat.
Jam menunjukkan pukul enam pagi.
Jaemin keluar kamar setelah membersihkan diri. Tidak terlihat siapa pun di rumah itu. Hening dan sepi. Dia menghela napas sekaligus ketika matanya menemukan sebuah foto yang tergantung di dinding.
Foto seorang laki-laki memakai jas almamater sekolah SMA berwarna kuning. Dia tersenyum percis dirinya.
Cepat-cepat Jaemin memalingkan wajah dan mencari keberadaan neneknya. Dia tidak ingin berlama-lama melihat foto itu.
“Halmoni...”
“Aku di sini,”
Wanita itu sedang menyiram tanaman di halaman belakang rumah. Wajahnya terlihat lebih berseri dari terakhir kali Jaemin melihatnya malam tadi.
“Sedang apa?”
“Memberi minum anak-anakku,”
Jaemin mengerutkan kening.
“Halmoni... jangan berlebihan. Itu hanya tanaman.”
Nenek tertawa ringan, lantas menaruh selang air.
“Ayo kita sarapan.”
Mereka masuk ke ruang makan.
Hanya ada satu asisten rumah tangga yang ikut membantu keperluan Nenek di rumah. Dia akan datang pagi hari dan pulang malam hari setelah Nenek tertidur.
Perempuan berusia tiga puluh tahunan itu membungkuk memberi salam pada Jaemin.
Jaemin balas membungkuk.
“Bagaimana, tidurmu nyeyak?”
Jaemin mengangguk. “Hmm...” sambil mengambil satu lauk di atas meja.
“Lain kali kalau tidur di sini, pakai saja kamar ayahmu.”
Jaemin tidak menjawab. Dia hanya melahap makanannya saja.
Itu sudah keputusannya semalam. Dia enggan menginap di kamar ayahnya, meski Nenek sudah menyuruhnya namun Jaemin lebih memilih tidur di kamar tamu.
“Aigoo... kau ini sungguh berbeda dengan ayahmu.”
Jaemin tetap tidak menghiraukan suara itu. Makannya semakin lahap.
“Dahulu kalau sedang makan, ayahmu itu sering banyak bicara. Banyak hal yang sering dia ceritakan kepada nenek sampai hal-hal kecil saja dia ceritakan.”
Praaakk!
Jaemin agak keras menaruh sumpit ke atas meja.
“Halmoni, aku pamit. Ada kelas pagi hari ini.” Jaemin berdiri.
“Tunggu sebentar Jaemin.”
Jaemin tak jadi berjalan. Sepenuhnya perhatiannya kini hanya kepada nenek.
“Ternyata ibumu benar.”
Kening Jaemin mengerut samar.
“Apa yang ibu katakan?”
“Dia bilang, agar aku tidak kaget dengan sifat keras kepalamu.” Nenek tersenyum.
“Ibumu juga bilang, agar aku tidak berharap kalau kau memiliki sifat yang sama dengan Ye Jun. Kenyataannya memang benar, kau tidak memili sifat ayahmu, hanya wajahmu saja yang begitu mirip dengannya.”
“Ya, aku jelas berbeda dengan Appa. Sangat berbeda!”
“Tapi nenek harap ada satu yang benar-benar membuat kau terlihat berbeda dengan Ye Jun.”
Jaemin terdiam.
Nenek menghela napas.
“Jaemin~an... kau tidak akan meninggalkan Nenek kan?”***
Jaemin menatap kosong jalanan yang dilewatinya. Pertanyaan nenek tadi belum sanggup dia jawab dengan perkataan, hanya anggukan ragu yang dia berikan. Setidaknya nenek bisa tersenyum tenang.
“Kita tidak tahu takdir di depan sana akan berbicara apa. Siapa yang lebih dulu di jemput, kita tidak akan pernah tahu.” Jaemin membatin.
“Halmoni, mianhae...” ucapnya pelan nyaris berbisik.
Mobil sedan berwarna hitam itu berhenti di depan sebuah rumah besar dengan pagar berwarna coklat tua.
Jaemin tersadar dari lamunannya.
“Ahjussi, kenapa kita berhenti?”
“Ini rumah tuan Ye Jun.”
Jaemin menoleh, memperhatikan tampak depan rumah besar dengan halaman yang luas di tanami dua pohon cemara kipas dan beberapa tanaman hias lainnya.
Rumah itu tampak sepi tak berpenghuni namun masih terawat.
Jaemin menghela napas perlahan.
“Ahjussi, ayo kita pergi dari sini. Sebentar lagi kelasku dimulai.”
“Baiklah kalau begitu.”
Biarlah rumah itu berdiri seperti yang diinginkan pemiliknya. Berdiri kokoh tanpa cerita.
Sementara tanpa Jaemin sadari, mobil sedan putih berhenti tak jauh di belakang mobilnya. Tanpa pemiliknya turun, hanya memperhatikan dari dalam hingga mobil yang ditumpangi Jaemin membawanya pergi.***
Temaraniaaa...
Apa kabarnya???
Author kembali lagi nih bareng Song Jaemin.
Gimana-gimana semakin di buat penasaran gak?
Like dan komen ya, supaya Author semakin semangat nulisnya.
Sampai bertemu di bab selanjutnya Temarania 😄
Love 💚
KAMU SEDANG MEMBACA
HANYA JIKA
Fanfiction"Jem, enggak ada salahnya lu ambil pilihan lain, kalau lu enggak bisa terima jawaban kali ini," Dan siapa sangka keputusannya untuk mengambil pilihan lain adalah langkah awal Song Jaemin membuka lembaran lama kehidupan Song Ye Jun.