000 Line Room

104 16 0
                                    

Pukul 09.30.

Jaemin berhasil masuk ke gedung DJ Entertainment menggunakan id card yang dikalungkan di lehernya.

Chang Hee yang memberikannya kemarin, sebelum mengantar Jaemin pulang.
Dia bilang, id card itu adalah akses keluar masuk gedung dan absensi baginya.

Sambil menunggu Chang Hee di lantai dasar, Jaemin memperhatikan Id card-nya.

“Kenapa mereka memasang foto yang ini?” katanya kecewa.

Jaemin cemberut.


“Jaemin~ah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Jaemin~ah...”

Jaemin menoleh.

“Kau sudah lama menunggu?”

“Tidak, baru saja.”

“Sebentar,” Chang Hee memperhatikan mimik wajah Jaemin.

“Yaak! Ada apa dengan wajahmu?”

“Paman... kenapa fotoku seperti ini? Apa tidak ada foto yang lebih bagus?”  Jaemin menunjukkan id card-nya.

“Waktu audisi kemari aku banyak sekali bergaya saat di pemotretan. Tapi kenapa harus foto ini?” Jaemin merengek anak kecil.

Chang Hee kekeh.

“Sudah jangan merengek seperti anak kecil begitu. Wajahmu malah terlihat semakin menggemaskan.” Chang Hee mencubit gemas pipi Jaemin.

“Paman... aku serius...”

“Aku juga serius.”

Jaemin semakin cemberut.

Kajja! Teman-temanmu sudah menunggu.”

Chang Hee merangkul Jaemin.

“Teman-teman? Apa maksudnya? Dia akan membawaku bertemu siapa lagi?” Batin Jemin.

Mereka berdua masuk ke dalam lift, naik ke lantai 15.

“Paman, siapa lagi yang kau maksud kali ini?” Jaemin memberanikan diri bertanya.

Chang Hee tersenyum.

“Kau akan tahu,”

Ting!

Pintu lift terbuka.

Jaemin berjalan mengekori Chang Hee.

“Paman, apa aku akan berlatih dengan anak-anak trainee lainnya?”

“Kau benar.”

Jalan Jaemin berhenti di depan sebuah pintu.

Tertera selembar kertas cetak hitam dengan nama :

000 Line Room.

Dalam pikirnya, Jaemin masih menerka-nerka orang-orang semacam apa yang akan dia temui di dalam sana nanti?

Chang Hee mengetuk pintu lantas membukanya.

Suara musik yang keras dari sepiker membuat penghuni ruangan itu tidak menyadari kedatangan Chang Hee.

One, two, three, four, six, seven-“ suara serempak itu lenyap seiring musik yang berhenti.

Mereka berlima menoleh.

“Ah... paman Chang Hee kenapa kau matikan musiknya? Kami sedang serius berlatih.” Haechan perotes.

Chang Hee tersenyum.

“Sebentar lagi akan ada evaluasi, jadi latihan ini penting untuk kami.” Renjun menambahkan.

“Izinkan sepuluh menit saja paman mengumumkan hal yang lebih penting.”

Kening Haechan mengerut samar. “Hal penting?”

Renjun melirik ke arah pintu yang dibiarkan terbuka.

“Siapa lagi yang paman bawa?” instingnya berbicara.

Senyuman Chang Hee semakin lebar di buatnya.

“Kalian akan tahu.”

Chang Hee menghela napas.

“Jaemin~ah... masuklah.”

Kelima remaja itu menoleh ke arah pintu.

“Jaemin?” Batin Jeno. Dia mengerutkan keningnya.

Jaemin masuk dengan wajah datar.

Kelima pasang mata itu tak lepas melihat pergerakan Jaemin.

“MWO?!” pekik Haechan tidak percaya.

“Daebak!” Renjun menutup mulutnya.
Jisung dan Chenle terperangah.

Namun berbeda halnya dengan Jeno, tatapnya berubah tajam.

“Annyeonghaseyo, je ireumeun Song Jaemin-yeyo.”

Jaemin membungkuk.

“Mulai hari ini, Jaemin akan berlatih bersama kalian. Jadi tolong bantu dia jika mengalami kesulitan.”

Tidak terdengar jawaban. Mereka berlima masih berdiri dengan ekspresi kaget masing-masing. 

“Kalian mengerti?” Sekali lagi Chang Hee bertanya.

“N-ne,” Renjun menjawab.

“Baiklah kalau begitu paman tinggal dulu. Dan ingat-“

“Jangan bertengkar...” ucap Haechan, Renjun, Chenle dan Jisung bersamaan.

Chan Hee terkekeh.

“Bagus kalau kalian mengerti.”

“Jaemin, paman tinggal dulu.” Chang Hee menepuk-nepuk pundak Jaemin.

Anak itu mengangguk dan mengucapkan terima kasih.

Setelah Chan Hee pergi.

Jaemin memperhatikan kelima laki-laki di hadapannya yang kini benar-benar tampak terkejut dengan kedatangannya.

Jaemin tidak berkutik, dia memilih diam, berdiri. Dia pun mulai sedikit kurang nyaman dengan tatapan kelima orang itu.

“K-kau anak dari Paman Ye Jun?” Haechan memecah keheningan.

“Ne,”

Untuk kedua kalinya mereka terperangah kecuali Jeno. Dia semakin memberikan tatapan tidak bersahabat.

Menyadari ke tidak nyamanan Jaemin, Renjun menghampirinya.

Annyeong. Aku Renjun. Anak tunggal dari Huang Yingji.” Dia mengulurkan tangan.
Jaemin tersenyum.

Tidak diberi tahu pun Jaemin sudah bisa menebaknya. Wajah Renjun begitu mirip dengan Paman Yingji.

Jaemin menyambut hangat uluran tangan itu. 

“Senang bertemu denganmu.” Ucap Renjun.

“Aku juga.”

Mereka saling berbalas senyum. 

“Biar kuperkenalkan yang lain.” Renjun menunjuk satu per satu.

“Dia Haechan, anak pertama dari Paman Yeon Han,”

Annyeong, Jaemin~an...” Haechan melambai riang.

Ne, Annyeong.” Jaemin membalas lambaian tangan Haechan dengan senyum lebar hingga terlihat gigi rapinya.

“Di sebelahnya, Chenle. Dia berasal dari Shanghai China sama sepertiku. Dia juga anak pertama dari paman Xioji, CEO dari perusahaan Entertainment terkenal di China. Dia salah satu anggota termuda di antara kami.”

Jaemin meng-oh kan, tanpa suara dan mengangguk-angguk pelan.

Annyeong, Jaemin hyung.”

Jaemin membalas sapaan Chanle.

“Dan dia, Jisung. Anak tunggal dari paman Jae Sun. Dia anggota termuda.”

“Jae Sun?” gumam Jaemin pelan nyaris berbisik.

Jisung menghampiri.

“Annyeong, Jaemin Hyung. Senang bertemu denganmu.”

“Aku juga. Senang bertemu denganmu Jisung~ah.” Jaemin mengelus pundak Jisung.

Renjun tersenyum melihat perlakuan keduanya.

Tampak Jisung menyukai kehadiran Jaemin.

“Dan satu lagi, dia Jeno. Putra tunggal dari paman Han Neul.” Renjun menunjuk Jeno.

Orang yang ditunjuk tak berhenti menatap Jaemin tajam.

Annyeong, Jeno,” Jaemin melambaikan tangan.

Akan tetapi setelah beberapa detik berlalu Jeno tak memberi respon apa pun. Dia malah memilih pergi keluar tanpa meninggalkan pesan.

“Hei, yaak! Kau mau ke mana?” panggil Haechan.

Jeno tak menjawab.

Brruukk!

Pintu tertutup keras.

Jaemin mematung, juga keempat orang lainnya.

“Ada apa dengannya?” Haechan keheranan.

Renjun menoleh cepat pada Jaemin.

“Jaemina~ah, sudah jangan dipikirkan. Mungkin Jeno sedang lelah.” Jawabnya asal.

Jaemin mengangguk.

Renjun kembali menoleh ke pintu dan menghela napas pelan.

***

“Bagaimana ceritanya kau bisa bertemu paman Chang Hee?” Haechan bertanya sebelum melahap Kimchi jjigae.

Mereka duduk melingkar di ruang latihan sambil menikmati makan siang.

“Saat itu aku sedang bekerja di restoran, lalu paman Chang Hee tiba-tiba saja berteriak sambil menghampiriku dan bilang kalau aku adalah orang yang hampir membuatnya gila.”

“Mwo?” Renjun tersenyum setelahnya.

“Mm...” Jaemin mengangguk membenarkan.

“Malah kupikir saat itu dia adalah orang mabuk yang salah alamat.”

Haechan terkekeh mendengarnya.

“Lalu dia memintamu untuk ikut audisi?” Renjun bertanya.

“Mm...” Jaemin mengangguk lagi.

“Tapi awalnya aku menolak.”

“Wae?” Ranjun penasaran.

“Aku tidak mau menyusahkan diri sendiri.”

“Apa maksudmu?”

“Menjadi publik figur sama saja dengan menaruh sebuah telur di atas jarum."

Jaemin mendongak, memperhatikan satu per satu wajah keempat temannya yang terdiam.

“Ada apa?”

“Apa aku salah bicara?”

Renjun tersenyum. “Kau benar. Menjadi publik figur memiliki tanggung jawab sosial yang besar. Kau cukup dewasa rupanya.”

Jaemin tersenyum.

Ceklek!

Jeno masuk dengan semangat turun. Dia menghempaskan tubuhnya ke sofa panjang.

Yaak! Kau dari mana saja, kenapa tidak ikut berlatih lagi?” Sahut Haechan.

Jeno hanya diam menatap langit-langit.

“Kau sudah makan siang?” Renjun menghampiri dan menatap wajah datar itu.

“Aku tidak lapar.”

“Makanlah dulu. Aku sudah pesankan makan siang untukmu.”

“Kimchi jjagae?” tanya Jeno.

Renjun mengangguk.

“Shiro!”

Yaak! Jeno~ah sama saja kau tidak menghargai usahaku,”

“SUDAH KUBILANG TIDAK MAU!”

Semua dibuat kaget dengan suara bentakan Jeno.

“Ya, sudah kalau tidak mau. Sepertinya kau sedang ada masalah,” kata Renjun sebelum kembali bergabung bersama teman-temannya yang lain.

“Ada apa dengannya?” tanya Haechan.
Renjun mengedikkan bahu. Wajahnya terlihat kesal.

“Sudah hyung jangan dihiraukan. Mungkin Jeno Hyung sedang tidak ingin diganggu.” Kata Chanle sambil mengelus pundak Renjun.

“Minum ini Hyung, kurasa kau akan merasa lebih baik.”

Renjun menghela napas lantas meneguk air mineral pemberian Jisung.

Sementara keempat teman lainnya memulai topik pembicaraan baru. Jaemin masih berlama-lama memperhatikan Jeno yang terbaring di sofa sana.

HANYA JIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang