Bendera Perang

81 19 4
                                    

PLAK!

Tak tanggung-tanggung, Dewi menampar keras sang anak.

“Maafkan aku,” ucap Jaemin pelan nyaris berbisik di dalam kamar hotel di lantai lima itu.

“Maaf kamu bilang?” Dewi terengah-engah sambil  menatap Jaemin dengan penuh amarah.

“Kamu sudah berani membohongi Ibu, Jaemin?!”

“Aku tidak bermaksud berbohong, hanya belum berterus terang!”

“Sama saja!”

Dewi mengangkat tangannya hendak melayangkan tamparan untuk kali kedua, namun Jaemin segera menahannya.

“Ibu... dengarkan penjelasan Kakak dulu!”

“Aku melakukannya karena ini tujuanku!”

“Tidak, Jaemin! Janjimu kepada Ibu bukan seperti itu. Kau ke sini untuk kuliah, dan untuk bertemu idol favoritmu, bukan untuk menjadi seperti mereka!”

“Kenapa sih, Ibu selalu menentang?! Kenapa Ibu tidak bisa melihat sisi positif dari apa yang aku lakukan?!”

“Itu hanya akan menyusahkan dirimu sendiri! Kamu tahu itu!”

“Tapi, apa tidak bisa Ibu memberikan aku sekali saja kesempatan untuk membuktikannya?”

“Membuktikan apa?!”

“Membuktikan kalau aku mampu! Aku akan buat sesuatu yang salah di mata Ibu itu menjadi hal yang sepesial di mata orang banyak! Khususnya Ibu!”

Dewi menghela napas sekaligus dan menggeleng.

“Ibuuuuu...” Jaemin merengek seperti anak kecil yang tidak di bolehkan membeli permen oleh orangtuanya.

“Kak, tolong dengarkan Ibu sekali ini saja. Ibu tidak pernah meminta kamu untuk menjadi orang terkenal, Ibu hanya ingin kamu menjadi orang biasa yang menjalani keseharianmu dengan bahagia. Bekerja di kantoran atau berbisnis dan menikah.”

“Tapi aku menginginkan hidup seperti Ibu dan Appa!”

“Mentalmu tidak akan kuat Jaemin!”

Jaemin mengacak rambutnya frustrasi. “Ibu selalu berkata seperti itu!”

“Benar! Ibu selalu mengatakan itu. Dan itu Ibu lakukan karena Ibu sangat mengkhawatirkanmu! Jadi cobalah pahami perasaan Ibu!”

“Lantas Ibu anggap apa diamku selama ini? Ketidak pedulian?” Jaemin menatap Dewi kecewa.

“Tidakkah Ibu sadar bagaimana aku berusaha memahami perasaan Ibu selama ini?”

“Apa pernah aku bertanya ‘kenapa’, kenapa Ibu harus bekerja sendiri, kenapa Ibu tidak pernah mengizinkan aku menari, KENAPA IBU TIDAK PERNAH MENGAKUI KEBERADAANKU KEPADA PUBLIK, DAN KENAPA APPA TIDAK ADA BERSAMA KITA?! APA AKU PERNAH BERTANYA SEPERTI ITU?!” nada bicara Jaemin semakin keras.

“Tidak kan?! Lalu bagaimana denganku?” Suara Jaemin bergetar, matanya mulai terasa panas.

“Siapa yang mengerti kalau aku juga kesulitan?”

“Sulit bagiku hidup tanpa sosok seorang ayah! Sulit bagiku bertahan hidup di bawah keegoisan Ibu! Aku lelah! Aku capek hidup dengan aturan dan cara hidup Ibu yang payah!”

PLAK!

Jaemin mematung tatkala sebuah tamparan keras mendarat di pipinya untuk kali kedua. Sementara itu, Dewi menatap sang anak penuh marah. Dia abaikan air matanya yang kini sudah terlanjur mengalir, sesuatu yang tak suka Dewi lakukan di hadapan anaknya.

“Keterlaluan kamu!” ucapnya penuh penekanan.

“Pergi kamu dari sini!”

Ingin sekali rasanya menangis, anak mana yang tidak sedih jika harus berdebat dengan orangtuanya. Tapi entah kenapa, air mata itu tak keluar seperti keinginannya. Hanya helaan napas sakit hati yang teramat sangat yang buatnya agak sulit untuk bernapas.

Pintu kamar hotel di lantai lima itu tertutup kencang. Jaemin keluar bersamaan dengan tubuh Dewi yang merosot ke bawah sebari melepaskan tangisnya.

***

“Kau sudah lebih tenang?”

Dewi mengangguk.

“Sorry, aku datang tanpa memberi tahumu.”

“It’s ok,” Dewi menghela napas sebelum menoleh pada seorang pria yang duduk di sampingnya kini.

“Jadi, ada apa?”

“Aku ke sini mengkhawatirkan Jaemin. Kau terlihat begitu marah padanya tadi di restoran. Mengingat sifat Jaemin yang sama kerasnya denganmu, firasatku mengatakan akan terjadi hal yang tidak baik, jadi aku buru-buru menyusul kalian dan benar saja aku mendengar kalian berdebat.”

“Kau mendengar semuanya?”
Dae Hyun mengangguk.

Di taman belakang hotel berbintang itu, keduanya sempat saling diam beberapa saat, sibuk dengan isi kepala masing-masing.

“Sudah delapan belas tahun. Tidak terasa ya, Wi? Terakhir kali aku bertemu Jaemin saat usianya masih satu setengah tahun, sekarang dia sudah sebesar itu. Wajahnya sangat mirip sekali dengan Ye Jun.” Dae Hyun tertawa pendek.

“Kau membesarkannya dengan baik.”
“Tidak, Oppa, kau salah. Justru aku gagal menjadi Ibu yang baik untuknya.”

Dae Hyun menoleh. “Kenapa kau berpikir seperti itu?”

“Selama kami tinggal di Indonesia, aku banyak menggunakan waktuku untuk bekerja, aku jarang meluangkan waktu untuknya. Dan selama itu juga aku banyak melewatkan tumbuh kembangnya.”

“Hanya dengan melihat Jaemin tersenyum dan tidak sakit secara fisik, aku selalu menganggap dia baik-baik saja. Tapi kenyataannya tanpa aku sadari, Jaemin banyak menahan luka di dalam hatinya.”

“Betapa bodohnya aku, Oppa. Sampai-sampai aku tidak mengerti arti sikap diamnya selama ini.” 

“Itu hanya karena aku tidak pernah melihatnya menangis. Jaemin tidak pernah menangis, Oppa...” Dewi menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

HANYA JIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang