Song Jaemin

105 19 0
                                    

“Kau sudah datang?”

“Mm... baru saja.” Jaemin memberikan uang pesanan enam porsi Jajangmieyon kepada Bibi Ae Ri.

“Kau pasti lelah sudah mengantarkan pesanan ke lokasi yang cukup jauh dari sini.”

“Aku menikmatinya, Bi.”

“Kalau begitu biar kusiapkan makan siang untukmu.”

“Tidak usah Bi, aku harus segera pergi ke kampus. Kuliahku dimulai siang ini.” Jaemin mengambil tas yang dia simpan dibalik pantri.

Arasseo. Hati-hati di jalan.”

Jaemin mengangguk lantas membungkuk. Pamit.

Selama di dalam bus, Jaemin tak lepas menatap layar ponselnya. Berharap suara dering di telepon genggamnya berubah menjadi suara Igam.

Nomor yang anda tuju sedang tidak dapat menerima panggilan anda, cobalah beberapa saat lagi.

Jaemin menghela napas.

Selalu seperti itu.

Sudah hampir setengah tahun dia tinggal di Korea, tidak sekali pun dia mendapatkan kabar tentang sahabatnya itu. Bahkan nomor teleponnya tidak dapat dihubungi.
Jaemin masih memegang janji Igam yang akan menyusul beberapa bulan setelah keberangkatannya. Namun hingga hari ini anak itu menghilang bagai di telan bumi.

Jaemin berdecak kesal.

“Setan!” umpatnya pelan nyaris berbisik.

***

Satu gelas es kopi tidak cukup melegakan dahaganya. Park Chang Hee menghela napas. Enam jam sudah dia berkeliling di tengah terik kota Seoul, akan tetapi belum ada sesuatu yang menarik baginya.

“Apa yang harus aku tunjukkan kepadanya nanti?” keluhnya.

Chang Hee kembali membidik kamera. Mengambil beberapa gambar secara acak dari sekitarnya.

Mungkin sudah cukup untuk hari ini, dia harus segera kembali ke kantor.

***

Dae Hyun tersenyum menemukan seseorang sedang duduk di salah satu meja pantri di kantornya. Laki-laki itu terlihat lesu di sana.

Dae Hyun menghampiri.

Annyeong, Chang Hee~ah...”

Chang Hee terlonjak kaget dengar suara itu. Dia segera berdiri dari duduknya dan membungkuk.

“Annyeonghaseo, daepyo-nim.”

Dae Hyun tertawa ringan.

“Tidak usah berlebihan. Santai saja Chang Hee~ah.”

“Arraseo, Hyung.”

“Ada yang sedang kau pikirkan?” Dae Hyun duduk di sebelahnya.

Chang Hee menggeleng.

“Tidak apa-apa, ceritakan saja. Ada apa? Aku ada yang sedang mengganggu pikiranmu.”

“Hyung...”

“Hmm?”

“Apa kau tidak ingin kembali tampil di atas panggung?”

Kening Dae Hyun mengerut samar.

“Kenapa kau bertanya seperti itu?”

Pria berusia 41 tahun itu menatap Dae Hyun dengan wajah lelah.

“Jujur saja, aku lebih baik menjadi manajermu seperti dahulu. Mengurusi semua kebutuhan dan jadwal manggungmu dari pada harus menjadi Talent Acquisition yang harus bekerja mencari orang-orang di luar sana.”

Dae Hyun tersenyum.

Dia mengambil kamera yang tergeletak tak jauh darinya.

“Aaahh... hari ini keberuntungan tidak berpihak padaku. Aku hanya mendapatkan lelahnya saja tanpa  mendapatkan hasil apa-apa.” Keluh Chang Hee sebelum meneguk secangkir kopinya.

Dae Hyun membiarkan Chang Hee mengeluarkan keluh kesahnya. Dengan begitu Dae Hyun harap mantan manajernya itu bisa merasa lebih baik.

Dae Hyun memperhatikan satu per satu gambar hasil bidikannya. Tidak ada yang buruk, hanya saja Dae Hyun pun merasakan hal yang Chang Hee rasakan. Tidak ada satu pun gambar manusia yang masuk dalam kriteria perusahaannya.

Dae Hyun tertegun. Dia diam agak lama memperhatikan satu foto yang ditemukannya.

“Ah?!”

Mata Dae Hyun membulat.

“Chang Hee~ah,” panggil Dae Hyun cepat.
Chang Hee menoleh.

“Waeyo?”

“Kau dapat dari mana foto ini?”

Chang Hee melihat foto hasil bidikannya. Foto seorang pemuda berpakaian serba hitam, berambut coklat keemasan sedang berjalan di antara orang banyak.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
HANYA JIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang