Dae Hyun keluar dari ruang rapat bersama beberapa komisaris lainnya.
Dia berjalan masuk ke dalam lift, menuju ruang kerjanya yang diikuti Yeong Han dan Yingji di belakang.
“Kenapa kalian mengikutiku?”
Dae Hyun melirik dua pria di kanan dan kirinya.
“Hanya ingin.” Jawab Yeong Han asal.
“Kau tidak ingin makan siang bersama, Hyung?” Yingji bertanya.
“Masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan.”
Ting!
Pintu lift terbuka.
“Ayolah Hyung, aku sudah menelepon Jae Sun untuk makan bersama. Biar aku yang traktir hari ini.” Ucap Yingji yang lebih dulu keluar.
Disusul Yeon Han, dan Dae Hyun di paling belakang.
“Jwesonghamnida, daepyo-nim.”
Ucapan sekretarisnya buat ketiga pria itu berhenti jalan.
“Ya, ada apa?” ucap Dae Hyun.
“Di dalam ada seseorang yang memaksa masuk ke ruangan anda. Saya sudah coba cegah, tapi beliau bilang dia adik anda.”
Kening Dae Hyun mengerut samar.
“Hyung, siapa maksudnya?” tanya Yeong Han.
“Entahlah.” Dae Hyun menggeleng.
“Gumawo, Hara.” Ucap Dae Hyun sebelum pergi.
Pintu ruang kerjanya dibuka.
Dae Hyun sempat menghela napas saat melihat keberadaan Xioji di ruangannya.
“Yakk! Sedang apa kau di sini?” kata Dae Hyun selagi menghampiri.
“Xioji?” Mata Yangji membulat.
“Kau?!” Yeong Han menatapnya terkejut.
“Annyeong, hyung.” Xioji melambaikan tangan.
“Aiss... berani-beraninya kau datang ke sini!” kata Yeong Han sambil berjalan ke arahnya lantas mencengkeram kerah baju Xioji dengan wajah kesal.
“SETELAH BELASAN TAHUN MENGHILANG KAU MASIH BERANI MENAMPAKKAN BATANG HIDUNGMU DI SINI, HEU!”
“H-hyung, tunggu sebentar, jangan dulu marah. Aku bisa menjelaskan semuanya.”
Yeong Han melepas kasar cengkeramannya.
Mereka berakhir duduk di sofa dengan mendengarkan semua alasan Xioji menghilang selama ini.
“Percayalah, hyung.”
“Jadi kau lari dari luka atas kejadian itu?” Yangji memastikan.
“Mm...” Xioji mengangguk.
Yeong Han tersenyum mendesah.
“Pengecut!” ucapnya pelan namun masih bisa didengar oleh orang sekitarnya.
“Yaak! Kau pikir hanya kau yang terluka? Kami berlima pun sama terlukanya. Tapi kau malah memilih lari dan membiarkan kami berlima menghadapi permasalahannya. Egois!” Yeong Han tak henti-hentinya meluapkan unek-unek yang lama terpendam pada Xioji.
“Mianhae, hyung. Jinjja, Mianhae.” Xioji berdiri lantas membungkuk dalam-dalam penuh penyesalan.
Cek lek!
Seseorang membuka pintu ruangan tanpa permisi.
“Apa yang sedang kalian bicarakan?”
Semua menoleh.
“Oh, Xioji Hyung? Kapan datang?”
Jae Sun di kejutkan dengan keberadaan Xioji.
“Entahlah, kami pun tidak tahu kapan dia datang. Dia seperti hantu yang datang dan pergi sesuka hatinya.” Balas Yeong Han.
Jae Sun duduk di sebelah Xioji.
Dia yang baru bergabung merasakan situasi yang janggal. Dia menatap satu per satu kakak laki-lakinya bergantian.
“Ada apa?”
“Apa kalian bertengkar?”
“Tidak, mereka berdua hanya sedang memarahiku.” Xioji melirik sekilas Yeon Han dan Yingji.
“Ah...” Jae Sun mengangguk paham.
“Kau memang pantas kena marah. Hyung!”
Dae Hyun menghela napas, setelah menyimak banyak percakapan adik-adiknya yang menyimpulkan kalau tidak ada yang tidak terluka atas kejadian mengerikan tujuh belas tahun lalu itu. Tapi bila ditanya siapa yang paling terluka di antara mereka berenam, Dae Hyun tidak tahu jawabannya.
Dae Hyun menggaruk keningnya dengan ujung jari telunjuk.
Tiba-tiba saja dia teringat Kim Ha Neul. Mungkin lebih tepatnya rindu.
“Apa kalian mau bertemu Ha Neul?”
Keempat pria di hadapannya menatap satu sama lain.
“Kajja!” jawan Yeon Han yang diikuti anggukan kepala yang lainnya.
Dae Hyun tersenyum.
Tok! tok! tok!
Semua menoleh tanpa terkecuali.
“Masuk.” Dae Hyun berseru.
Cek lek!
“Annyeonghaseo, daepyo-nim.”
Chang Hee membungkuk.
Dae Hyun tersenyum lebar. Dia berdiri menyambutnya.
“Chang Hee~ah... masuklah.”
Chang Hee kembali membungkuk memberi salam pada empat orang lainnya.
“Annyeong, Chang Hee~ah lama tidak bertemu.” Ucap Xioji.
“Ah?” mata Chang Hee membulat.
“Xioji Hyung?!” Dia tampak begitu terkejut melihat keberadaan Xioji setelah belasan tahun menghilang.
“A-ah...” Chang Hee menggeleng-geleng cepat.
Bukan saatnya terkejut seperti ini. Dia harus cepat memberi kabar baik itu kepada Dae Hyun.
“Hyung, aku menemukannya,”
Dae Hyun tersenyum lebar hingga terlihat gigi rapihnya.
“Benarkah?”
“Ne,” Chang Hee memberikan selembar foto terakhir Jaemin.
“Ini,”
Mata Dae Hyun semakin berbinar melihat foto terbaru itu.
“Siapa dia?”
“Namanya Song Jaemin, dia mahasiswa Indonesia yang sedang berkuliah di Kyung Hee University.”
Dae Hyun mendongak. “S-Song?”
“Apa kau bilang? Song Jaemin?” Jae Sun angkat suara.
Dia tak kalah terkejutnya ketika mendengar nama itu.
“Ne, Song Jaemin.”
Jae Sun mengambil foto di tangan Dae Hyun.
“Berikan padaku.”
Matanya membulat dengan mulut terbuka.
“Dari sejak kapan dia di Korea?”
“Apa maksudmu?” Yeon Han merebut foto itu.
Yingji mendekat, meliatnya bersama.
“Daebak!” Yingji menyadari kemiripan wajah Jaemin dengan salah seorang anggota grup mereka.
Yeon Han tertegun tidak bersuara. Tatapannya berubah sendu menatap lama foto ditangannya.
Xioji mengambil alih foto itu, lantas tersenyum tipis setelah melihatnya.
“Sekarang di mana anak itu?” Dae Hyun bertanya antusias.
“Dia tidak bersamaku,”
Senyum Dae Hyun luntur seketika.
“Apa maksudmu?”
“Begini Hyung, dia menolak untuk bergabung bersama kita.”
“Mwo?!”
“Dia bilang, menjadi publik figur akan menyusahkan dirinya sendiri, maka dari itu dia menolak.”
“Lalu kenapa kau ke sini?!” Tanya Dae Hyun dengan wajah menahan kesal dan suara dingin.
“O-oh?” Chang Hee tidak mengerti.
“Kau lupa apa yang aku katakan waktu itu, he?!”
Dae Hyun sudah tidak bisa menyembunyikan wajah kesalnya.
“AKU BILANG JANGAN MENGINJAKAN KAKI DI KANTOR INI SAMPAI KAU BISA MEMBAWANYA KE HADAPANKU!!!” Amarah Dae Hyun meledak.
“Sekarang kau keluar! Bawa dia ke hadapanku! Aku beri kau waktu satu minggu. Tapi kalau dalam waktu satu minggu itu kau tidak bisa membawanya. Jangan pernah menginjakkan kaki di kantor ini lagi! KAU MENGERTI PARK CHANG HEE?!”
“I-iya aku mengerti,” jawab Chang Hee takut-takut.
“A-aaah... Chang Hee~ah...” Dae Hyun memegang punggung lehernya.
“Hyung?” semua panik.
Yingji menuntun Dae Hyun duduk di sofa.
Jae Sun mengambil obat pereda nyeri di laci meja kerja Dae Hyun.
Xioji menatap khawatir.
“Chang Hee~ah, keluarlah...” Yeong Han merangkul Chang Hee, membawanya keluar ruangan.
“T-tapi, hyung,”
“Sudah jangan khawatir. Dae Hyun Hyung akan baik-baik saja. Bekerjalah lebih keras dari biasanya.” Yeong Han menepuk-nepuk pundak Chang Hee lantas kembali masuk ke dalam ruangan.
Chang Hee menghela napas perlahan.
“Apa yang harus aku lakukan selanjutnya?” keluhnya.
“Paman?”
Chang Hee menengok.
“Ah, Mark,” Chang Hee tersenyum.
Dia diam berdiri menunggu Mark yang menghampirinya.
“Bagaimana Jajangmyeonnya? Enak bukan?”
“Aku tidak sempat mencobanya.”
Kening Mark mengerut. “Weo?”
“Aku di sana bertemu pemuda berambut coklat keemasan itu. Jadi aku tidak sempat makan siang di sana.”
“Oh, ya? Jadi bagaimana hasilnya?”
Chang Hee menggeleng. “Dia menolak!”
“Lalu paman hanya diam dan menyerah begitu saja?”
Chang Hee menatap Mark lama-lama lalu tersenyum medesah.
“Rupanya kau sama saja dengan ayahmu.”
“Memang apa yang Ayah katakan padamu?”
“Sekarang dia mengancam akan memecatku jika aku tidak bisa membawa Song Jaemin ke hadapannya.”
“Song Jaemin,” Mark berbisik mengucapkan nama itu.
Beberapa detik kemudian senyumnya lahir karena satu alasan, dan itu hanya Mark yang tahu.
“Aku pikir seiring bertambahnya usia ambisi ayahmu akan berkurang, tapi ternyata jauh lebih gila dari yang kupikirkan!”
“Kau tahu paman, kenapa ayahku ingin sekali bertemu Song Jaemin?” Mark menoleh, menatap sebuah poster boy grup tahun sembilan puluhan, berukuran 100x50 cm yang tergantung di salah satu dinding kantor.
Chang Hee ikut menoleh.
“Perhatikanlah baik-baik!” pinta Mark.
KAMU SEDANG MEMBACA
HANYA JIKA
Fanfiction"Jem, enggak ada salahnya lu ambil pilihan lain, kalau lu enggak bisa terima jawaban kali ini," Dan siapa sangka keputusannya untuk mengambil pilihan lain adalah langkah awal Song Jaemin membuka lembaran lama kehidupan Song Ye Jun.