Dae Hyun tersenyum mana kala menemukan Yingji dan Xioji di balik pintu lift yang terbuka. Kedua orang itu masuk bersamaan ke dalam lift mengimpit dirinya.
“Kalian akan menemui anak-anak?”
“Kau benar.” Balas Yingji yang di susul anggukan kelapa Xioji.
“Kudengar mereka akan evaluasi.” Sambung Yingji.
“Apa kau juga akan menemui mereka, hyung?”
Dae Hyun mengangguk, menjawab pertanyaan Yingji.
“Tentu saja, aku tidak akan melewatkan penampilan mereka.”
Ting!
Pintu lift terbuka.
***
Jaemin terduduk memperhatikan setiap ekspresi wajah teman-temannya.
Haechan yang terus melakukan gerakan kecil, mengulang gerakan tari yang akan ditampilkan nanti, Renjun berjalan mondar-mandir karena gugup, Jeno terduduk cemas di sofa, Chanle yang bolak-balik buang air kecil dan Jisung sedari tadi diam melamun di sampingnya.
Jaemin merangkul pundak Jisung.
“Gwencana?” Ucap Jaemin mencoba menenangkan Jisung.
“Hyung, aku gugup sekali.”
“Tidak usah khawatir, kita sudah berlatih keras beberapa hari ini. Aku yakin semua akan baik-baik saja. Kau bisa melakukannya.”
Jisung tersenyum. “Terima kasih Hyung, sudah percaya padaku.”
Jaemin mengangguk.
Ceklek!
Jaemin mendongak.
Seorang laki-laki berusia 30 tahun masuk ke dalam ruangan dengan sebuah berkas catatan di tangannya.
“Yakk, Yakk! Kenapa kalian masih berleha-leha seperti itu? Cepatlah bersiap!”
“Guys...” Renjun mengisyaratkan agar mereka berkumpul.
Mereka berdiri melingkar saling berhadapan.
“Oke, ini kesempatan kita. Aku harap kita bisa memberikan yang terbaik. Jadi mohon bantuannya.”
Yang lainnya mengangguk.
Ragu-ragu Renjun mengulurkan tangan.
Kelima lainnya saling melirik tidak mengerti.
“Kajja,” ucap Renjun pelan.
Jaemin tersenyum lantas menangkupkan telapak tangannya di atas tangan Renjun dan disusul yang lain.
“HWAITING!!!” seru mereka bersamaan sambil melempar tangan ke atas.
Ceklek!
“Kalian siap?” Dae Hyun masuk di ikuti oleh dua orang lainnya.
Jaemin mematung, melihat kedatangan mereka.
“Appa?” Gumam Renjun.
“Papa?” Ucap Chenle yang tak kalah kaget menemukan ayahnya hadir bersama dua pria lainnya.
“Ngapain Papa di sini?”
“Untuk melihat penampilan kalian apa lagi.”
Dae Hyun terkekeh mendapatkan raut wajah Chenle yang berubah cepat dari gugup menjadi kesal karena ayahnya.
“Lihat wajah anakmu, percis ketika kau kesal.”
“Hmm.” Xioji mengangguk, membenarkan.
Akan tetapi matanya tertuju pada seorang anak laki-laki berambut coklat keemasan. Yang berdiri di belakang anaknya.
“Annyeong Jaemin~ah,” Xioji menyapa anak itu saat mata mereka bertemu.
Jaemin hanya membungkuk memberi salam kepada seseorang yang tak dia kenal.
“Kau berhasil membawanya ke sini,” Xioji menoleh pada Dae Hyun.
Dae Hyun mengangguk, matanya pun tak lepas memperhatikan Jaemin.
Xioji menghela napas. “Wajahnya benar-benar membuatku seperti sedang melihat Ye Jun.”
“Aku juga merasa begitu.” Kata Yingji.
“Ya, kau benar.” Perhatian Dae Hyun tak pernah lepas dari Jaemin yang kini sudah berdiri di posisinya.
Keenam remaja itu bersiap menunjukkan penampilan terbaiknya.
Refleks tubuh mereka bergerak mengikuti irama musik saat lagu Call Me Baby-EXO terputar.
Dari keempat orang dewasa itu tidak ada yang bertukar pendapat. Mereka fokus memperhatikan keseluruhan gerakan keenam remaja di depannya.
Yingji mengerutkan kening. Perhatiannya tertuju pada satu orang. Jeno.
“Ada apa dengan anak itu?” gumam Yingji dalam hati.
Berbeda halnya dengan Dae Hyun. Pria itu terduduk dengan wajah siksa. Seakan ada yang mengganggu pikirannya.
Selama musik terputar, tak henti-hentinya Renjun, Jeno, Haechan, Jisung, Chenle dan Jaemin memberikan penampilan terbaik.
Ekspresi penuh penjiwaan dan variasi gerakan yang energik berpadu melahirkan keselarasan dalam penampilan yang dipertunjukkan.
Hingga musik berakhir, mereka berhasil menyelesaikan penampilan terbaiknya.
Keenam remaja itu berdiri sejajar lantas membungkuk memberi salam.
“Waah...” sang pelatih berdiri, sambil bertepuk tangan.
Baginya banyak perkembangan dari keenam anak didiknya. Terutama Jaemin. Belum satu minggu anak itu berlatih bersamanya, akan tetapi kemampuan menarinya cukup buatnya puas akan penampilan hari ini.
“Yakk, Jeno~ah...” panggil Yingji.
Jeno mendongak.
“Gwencana?”
Renjun dan Haechan menoleh padanya. Sementara itu Jisung, Chenle dan Jaemin hanya mencuri pandang sekilas padanya.
“Ne, gwencanayo.” Jeno mengangguk.
“Paman harap juga begitu.” Yingji menatapnya lama-lama. Ekspresi wajah Yingji seolah-olah memberitahu remaja bertopi hitam itu, jika dia tahu Jeno sedang tidak dalam penampilan terbaiknya.
“Dae Hyun Hyung, bagaimana pendapatmu?” Yingji bertanya.
Dae Hyun berdecak pelan dan menghela napas.
Dia menggeleng. “Menurutku masih ada yang kurang.”
Mendengar hal itu, Mereka tertunduk. Terlebih Renjun, dia tampak kecewa dengan pendapat Dae Hyun.
Jaemin yang menyadari hal itu lantas menggenggam tangan Renjun yang terkepal kuat. Mencoba menenangkan.
“D-daepyo-nim.” Sang pelatih berseru tak sependapat dengan Dae Hyun.
Dae Hyun menghela napas. Lalu berdiri hendak meninggalkan ruangan.
“Daepyo-nim.” Pelatih meminta penjelasan.
“Sampai bertemu satu bulan lagi.”
Pelatih menghela napas sedikit kecewa. Begitu juga dengan keenam anak remaja di sana.
Yingji menoleh, memperhatikan setiap raut wajah sedih anak-anak itu. Terutama Renjun yang tampak menahan marah.
Dia menghela napas.
“Anak-anak,” panggilnya.
Semua mendongak.
“Berlatihlah lebih keras.” Katanya lalu mengumbar senyum sebelum keluar bersama Xioji.
Setelah pintu tertutup dan hanya menyisakan mereka berenam, air mata Renjun tumpah bersama isak tangis yang coba dia tahan agar tak di dengar teman-temannya.
“Yakk, Renjun!” Haechan menegurnya.
“Mian,” ucapnya pelan nyaris berbisik.
“Ini bukan salahmu.” Balas Haechan.
“Kita sudah melakukan yang terbaik, tapi mungkin Paman Dae Hyun punya pendapatnya sendiri. Sudahlah, jangan menangis seperti itu. Apa kau tidak malu sama Jisung?”
Renjun menghapus kasar air matanya.
“Aaah... aku lapar. Biar kupesankan makan siang untuk kita semua.” Haechan mengeluarkan ponselnya dan duduk di sofa bersama Jeno.
Sementara Chenle dan Jisung memilih duduk selonjoran di lantai.
“Mian, Jaemin~ah.”
Jaemin tersenyum tipis.
“Kau tidak perlu meminta maaf.” Dia merangkul Renjun.
“Gwencana, matahari pun tidak pernah terburu-buru mengusir malam, dia akan bersinar pada waktunya. Benar begitu bukan?”
Renjun tersenyum tipis.
“Kau benar.”
KAMU SEDANG MEMBACA
HANYA JIKA
Fanfiction"Jem, enggak ada salahnya lu ambil pilihan lain, kalau lu enggak bisa terima jawaban kali ini," Dan siapa sangka keputusannya untuk mengambil pilihan lain adalah langkah awal Song Jaemin membuka lembaran lama kehidupan Song Ye Jun.