Drrrttt... Drrrrttt...
Jaemin hanya termangu menatap layar ponsel di tangannya.
Lagi-lagi nomor telepon tak dikenal itu menghubunginya.
Sudah hampir dua tahun deretan nomor yang tak pernah menjadi penghuni kontaknya itu menerornya dengan segala ancaman dari si suara misterisus itu.
"Jangan pernah abaikan teleponku, jika kau tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi!"
Begitulah ancaman terakhir yang Jaemin terima. Semakin dia mengabaikan, semakin sering dia dan keenam anggota New Era lainnya mengalami hal buruk.
Dan sialnya, hal ini berhasil buat Jaemin stres.
Terakhir kali dia di buat terkejut dengan menghilangnya Chenle di sebuah station televisi, sepuluh menit sebelum penampilan mereka.
Kejadian itu sontak buat mereka kebingungan. Cepat-cepat keenam anggota lainnya berpencar mencari anak itu. Namun, lima dari mereka termasuk Jaemin tak menemukannya, hanya Mark. Insting dan firasatnya menuntun dia untuk masuk ke kamar mandi, dan benar saja, Mark mendengar suara teriakan minta tolong dari salah satu pintu yang terkunci paten. Pintu itu tak bisa di buka dari luar mau pun dalam, dengan terpaksa Mark mendobraknya.
Saat pintu itu berhasil di buka, Mark mebemukan Chenle yang sudah menangis panik. Chenle lantas memeluk Mark setelah menemukan keberadaan kakaknya.
Jaemin menghela napas. Mengingat kejadian terakhir kemarin benar-benar buatnya dibelengguh rasa cemas berlebih. Hingga dia memutuskan untuk absen dari jadwal latihan hari ini.
"Jaemin~an, taruh dulu ponselmu itu, ayo makan," Jaemin berbalik badan dan menghampiri neneknya di meja makan.
Iya, sudah dua malam dia menginap di rumah neneknya. Jaemin sengaja tak tinggal di apartemen, untuk menghindari kecurigaan semua anggota satu grupnya, demi menjaga sesuatu yang sudah hampir 24 bulan dia rahasiakan. Tapi tidak dengan Jeno, anak itu adalah satu-satunya anggota yang mengetahui keberadaan orang misterius itu. Tak jarang, jika nomor telepon si pemilik suara berat itu menelepon, Jeno yang menjawabnya.
"Jaemin~ah..."
Jaemin mendongak mendengar suara lembut sang Nenek.
"Apa yang sebenarnya yang sedang kau pikirkan?"
Jaemin tersenyum tipis dan menggeleng.
"Sepanjang aku menjadi seorang ibu dari satu orang anak, alasan utama ayahmu sakit karena pikirannya sendiri,"
"Benarkah?"
"Tentu saja, ayahmu sempat dilarikan ke rumah sakit karena pola makannya berantakan, kau pikir karena apa?"
"Jadwal manggung yang padat?"
Nenek menggeleng. "Karena ibumu!"
"Ah?" Mata Jaemin membulat.
"Dia hampir mati karena memikirkan ibumu yang menolak cintanya,"
"Yang benar saja,"
"Kau saja tak percaya, apa lagi aku yang menyaksikannya sendiri. Aku merasa kehilangan Ye Junku saat itu, dia menjadi laki-laki yang sering melamun, kehilangan semangat hidupnya dan tak memiliki selera makan. Tidak jauh berbeda dengan kondisimu saat ini,"
Jaemin mendongak menatap neneknya.
"Jadi ceritalah padaku, apa yang sedang kau pikirkan? Apa ada yang mengganggumu?"
Jaemin menatap wajah neneknya itu agak lama, sebelum dia mengerjap-ngerjapkan kedua matanya dan tertunduk.
"Tidak, tidak ada yang menggangguku Halmeoni,"
KAMU SEDANG MEMBACA
HANYA JIKA
Fanfiction"Jem, enggak ada salahnya lu ambil pilihan lain, kalau lu enggak bisa terima jawaban kali ini," Dan siapa sangka keputusannya untuk mengambil pilihan lain adalah langkah awal Song Jaemin membuka lembaran lama kehidupan Song Ye Jun.