Alasan Utama

63 16 2
                                    

"Good job!" Jae Sun bertepuk tangan memberikan apresiasi kepada ketujuh anak muda yang baru saja menyelesaikan tujuh lagu untuk album terbarunya.

Tidak ada yang perlu dikoreksi, baginya semua berjalan sempurna. Tapi tidak dengan satu hal, mungkin dia harus memperbaikinya sebelum terlambat.

"Kalian boleh kembali, beristirahatlah yang cukup," ucap Jae Sun pada ketujuh anaknya.

Semua membungkuk memberi salam dan keluar satu per satu.

"Jaemin~ah,"

Langkah kakinya yang hendak keluar tertahan di ambang pintu. Jaemin menoleh, dan melihat pamannya itu menepuk-nepuk salah satu kursi.

Jaemin datang mendekat dan duduk di kursi itu. "Ada apa Paman?"

"Boleh Paman bertanya sesuatu?"

Jaemin mengangguk, meski ragu.

"Apa yang sedang mengganggu pikiranmu?"

"Appa!"

Telak, Jae Sun terdiam dengan jawaban jaemin yang tanpa berpikir panjang.

"Kau rindu padanya?"

"Tidak, aku hanya marah!"

Jae Sun menatap lama-lama pemuda di sebelahnya. Tidak ada raut wajah marah, Jaemin justru menunjukkan wajah datar tanpa ekspresi.

Kenapa semakin lama anak ini semakin mirip dengan Ayahnya?

"Kenapa kau marah, apa alasannya?"

"Menurutmu apa alasannya?"

"Jaem-" suara Jae Sun tertahan ketika setetes air mata Jaemin tampak di depan matanya.

Agak lama Jae Sun terdiam memperhatikan setiap tetesan air mata Jaemin yang jatuh. Anak ini menangis tanpa tergugu. Hanya air mata saja yang jatuh, tapi itu berhasil buat Jae Sun terhantam sedih tiba-tiba. Dari keenam pamannya, dia adalah satu-satunya yang orang paling dekat dengan Jaemin. Hampir setiap tahun dia datang ke Indonesia hanya untuk memastikan kondisi anak ini. Dia coba hadirkan sisi hangat seorang ayah bagi Jaemin selama di dekatnya, hingga anak ini tak sungkan memperlihatkan sisi melankolisnya yang tak pernah Jaemin tunjukkan pada sang ibu.

"Kenapa ayahku harus pergi? Wae?" Ucapnya lirih.

Sesak. Jae Sun merasa tak baik-baik saja saat mendengar satu pertanyaan dari mulut Jaemin.

Selama ini dia bisa mengabulkan semua yang Jaemin inginkan, bahkan dia bisa mengisi kekosongan sosok seorang ayah di hidup Jaemin. Tapi untuk pertanyaan satu ini, Jae Sun benar-benar tak bisa menjawabnya, sekali pun pertanyaan itu berasal dari dirinya sendiri, Jae Sun tak akan pernah bisa menjawabnya. Dia hanya bisa menggeleng, sebuah jawaban yang tak di harapkan Jaemin sebenarnya.

"Paman tidak tahu?" Setetes air mata kembali jatuh ke pipinya.

"Maaf, Jaemin~ah... maafkan Paman,"

Jaemin menelan ludah dalam-dalam. Suara lirih penuh penyesalan itu tak berarti apa-apa baginya. Dia sudah menemukan satu fakta jika apa yang dikatakan tuan bertopi itu adalah benar adanya.

"Kau benar-benar tidak peduli kepada ayahku!" Jaemin berdiri dan meninggalkan ruangan itu membawa kecewanya.

Tidak, Jae Sun tidak mencegah anak itu pergi. Karena dia rasa apa yang dikatakan Jaemin adalah kebenaran.

***

"Yakk! Kau ini kenapa? Tumben sekali kau datang dengan wajah lesu?" Yeon Han

Ini sudah pukul sembilan malam, Jae Sun menjadi anggota terakhir yang sampai di apartemen Dae Hyun. Ini semua karena Xioji, pria itu datang dan meminta rekan-rekannya untuk berkumpul.

HANYA JIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang