Tepat Tengah Malam

95 22 2
                                    

Pintu kamar hotel itu terbuka. Jaemin tahu ibunya masih menginap di sana entah sampai berapa lama.

Sekarang, wanita yang sempat berdebat dengannya kemarin malam itu berdiri menatapnya di ambang pintu. Tanpa sepatah kata pun.

“I-ibu.”

“M-maaf,”

Jaemin maju selangkah lalu merengkuh tubuh ibunya yang tak dia duga akan menerima balasan peluk hangat secepat ini.

Satu jam dari momen saling memaafkan yang mengundang air mata itu, Jaemin terduduk di pinggir kasur di kamar hotel tempat ibunya menginap.

"Kapan Ibu berencana pulang ke Indonesia?"

"Tidak ada,"

Jaemin menoleh menatap Ibunya.

"Alasannya?"

"Apa Ibu harus memiliki alasan lain untuk tinggak bersama kamu?"

Jaemin menghela napas. Tentu Jaemin terkejut dengan keputusan itu. Terlebih lagi ibunya tidak memberikan alasan yang jelas. Jaemin yakin, pasti adala alasan lain yang memperkuat keputusan itu. Tapi apa boleh buat, ibunya sudah datang dengan lima koper dari Indonesia, dan Jaemin tidak bisa memaksanya untuk pulang.

“Bu, sebenarnya Appa kenapa?” tanya Jaemin tiba-tiba.

Dewi menoleh, tanpa menjawab langsung pertanyaan anaknya.

“Aku sudah baca banyak artikel-artikel tentang penyebab kematian Appa. Mereka bilang, Appa meninggal dunia bukan karena kecelakaan seperti yang Ibu katakan. Tapi karena mengakhiri hidupnya sendiri.” Jaemin menoleh. “Bu...” dia menuntut jawaban.

Dewi menghela napas. “Ibu tidak pernah percaya dengan pemberitaan di luar sana.”

“Alasannya?”

“Karena ayahmu tidak memiliki alasan untuk melakukan hal bodoh seperti itu!”

“Bu-“

“Untuk apa ayahmu mengakhiri hidupnya ketika dia sedang berbahagia atas kelahiranmu? Ibu tahu kondisi ayahmu saat itu, ibu adalah orang terdekatnya. Ibu yang terakhir kali dia hubungi sebelum dan pada saat kecelakaan itu terjadi.”

Kening Jaemin mengerut samar.


“Tunggu, maksud ibu?”

Lagi-lagi Dewi menghela napas, baginya mengingat kejadian yang menimpa suaminya delapan belas tahun lalu adalah hal yang paling menyakitkan, paling menyesakkan, akan tetapi malam ini mau tidak mau dia harus kuatkan hatinya untuk menjelaskan hal yang dia rahasiakan pada anaknya.

Untaian kata demi kata yang terucap dari mulut Dewi  menjelma menjadi serentetan cerita dari situasi terakhir suaminya yang berhasil membuat Jaemin tertegun lama.
Dewi menghela napas. Sedih itu terulang lagi kala mengingat kalimat terakhir suaminya sebelum dia di temukan tewas esok hari.

“Sudah, hentikan. Cukup sampai di aku saja.”

“Kak, ayahmu pergi karena rasa kasih sayangnya, bukan karena kebenciannya. Untuk kita dan bukan karena kita. Kau mengerti kan sekarang?”

***

Dengan perut keroncongan Jaemin masuk ke dalam unit apartemennya. Dia di sambut oleh keheningan. Wajar saja, ini sudah hampir tengah malam, teman-temannya pasti sudah tidur.
Dia telat pulang melebihi jam peraturan yang ditetapkan.

Jaemin membuka pintu kaca yang terhubung ke balkon dan menutupnya kembali, dia duduk menyendiri sambil menikmati sepaket ayam tepung dan sekaleng minuman bersoda yang di belinya sebelum pulang.

BRAKK!

“Setan!” ucap Jaemin kaget.

Dia menoleh ke belakang, mencari tahu siapa yang membuka keras pintu kaca itu hingga membuatnya terkejut.

HANYA JIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang