Berawal Dari

82 21 0
                                    

Pukul sembilan pagi.

Mark merangkul Jisung yang  ngambek selama perjalanan menuju ruang latihan 000 yang sudah berganti nama menjadi New Era Dance Room.

“Sudahlah Jisung, lagi pula kau sudah melakukannya dengan baik,” bujuk Renjun.

“Kau sudah bekerja keras.” Tambah Jeno.

Jisung melirik kedua kakaknya penuh kejengkelan.

“Iss!” Jisung mengumpat. Dia lantas melepaskan rangkulan Mark dan berjalan cepat meninggalkan kelima Kakak-kakaknya yang lain.

“Jisung~ah...” panggil Chenle. Tapi anak itu tidak memedulikannya.

“Kurasa kalian sudah keterlaluan.” Ucap Mark sambil menatap punggung Jisung.
“Itu sudah kesepakatan bersama, Hyung. Siapa yang kalah suwit, dia yang beres-beres rumah.” Jelas Haechan.

Sementara itu...

BRAAK!!

Jaemin terlonjak kaget ketika pintu ruang latihan terbuka kasar.

“Jisung~ah?”

Mata Jisung membulat. “Hyung? Maaf, aku pikir tidak ada orang di dalam. Makanya-“

“Kenapa?” tanya Jaemin.

Belum sempat Jisung menjawab pertanyaan Jaemin, satu per satu dari anggota New Era masuk ke ruang latihan.

“Hai, Bro,” Sapa Renjun. Dia tampak senang menemukan temannya yang semalaman tidak pulang itu. Dia berjalan menghampiri Jaemin dan memeluknya.

Gwenchana?” tanya Renjun dalam pelukan sambil menepuk-nepuk pundak Jaemin.

“Mm... aku sudah jauh lebih baik.” Katanya dan melepaskan pelukan.

Sekarang, ada lima orang lainnya tengah berdiri memperhatikannya. Jaemin menatap mereka satu per satu.

“Mianhae ” Ucap Jaemin.

“Maaf semalam aku sudah membuat masalah.”

Mark mengangguk-angguk kecil. “Kami tahu kau sedang menghadapi situasi yang kurang baik. Gwenchana, Jaemin~ah...”

“Melihat kau baik-baik saja kami sudah lega,” tambah Haechan yang ikuti anggukan kepala Chenle.

“Semalam, kau tidur di mana?” tanya Renjun.

“Apartemen Paman Dae Hyun.”

Beberapa orang dari mereka tampak sedikit terkejut , kecuali Mark yang sudah lebih dulu mengetahuinya.

“Bagaimana bisa kau menginap di sana?” Haechan penasaran.

“Aku bertemu Paman Dae Hyun ketika sedang berjalan-jalan sendirian, lalu dia mengajakku ke apartemennya.”

“Syukurlah, kau bertemu dengan Paman Dae Hyun, aku sudah khawatir kalau saja kau memilih tidur di halte bus.” Balas Haechan.

Jaemin tersenyum mendesah. Tapi perhatiannya tak luput dari si bungsu yang sedari tadi diam seribu kata.

“Jisung~ah... kau belum jawab pertanyaanku barusan. Kau kenapa?”

Hyung, jangan pernah pergi lagi dari apartemen.” Katanya dengan wajah kesal.

“Kenapa memangnya? Ada masalah lain?”

“Kalau tidak ada Hyung, apartemen kita dua kali lipat lebih berantakan dari biasanya! Tidak ada yang menegur mereka supaya membereskan bekas makan  kecuali Hyung. Dan Hyung tahu? Siapa yang membereskan sampah- sampah sisa makanan di meja ruang teve? Siapa yang mencuci piring, menyapu dan mengepel seluruh ruangan dorm? AKU, HYUNG! AKUUUU!” jelas Jisung kesal.

“Jisung~ah... kau kalah suwit, jadi sudah seharusnya kau yang membereskannya.” Kata Haechan.

“Tapi tidak ada yang membantuku. Mereka jahat sekali, Hyung...” Jisung mengadu pada Jaemin.

“Oh... kasihan sekali adikku ini. Sini-sini peluk Hyung,” Jaemin menghampiri Jisung lantas memeluknya.

Mereka berlima terkekeh melihat bagaimana Jaemin menjelma bak seorang ibu yang menenangkan anak kecil berusia lima tahun.

Setelah drama ibu dan anak itu selesai, di pimpin Mark, mereka melafalkan doa sebelum memulai latihan hari ini.

Di bawah pengawasan pelatih, tubuh ketujuh laki-laki itu bergerak sesuai irama musik. Tidak ada kekeliruan dalam setiap tempo koreografi mereka, semua terlihat selaras. Begitu pun dengan Jeno dan Jaemin, dua anak yang tengah berperang itu tampak kompak ketika ada salah satu gerakan koreografi yang hanya dilakukan oleh mereka berdua di tengah lagu.

Jaemin akui, kalau bukan karena nasehat dari ayahnya Mark, mungkin sampai sekarang dia tidak memiliki alasan untuk meredam amarahnya terhadap anak bernama Kim Jeno ini. 

Oke, begini saja. Bagaimana kita ubah sudut pandangnya, bukan benci, tapi peduli? Paman Ha Neul mengatakan hal demikian agar kau berhati-hati karena dia begitu mengkhawatirkanmu. Dan Jeno, dia mengatakan itu bukan karena dia senang kau terpuruk, melainkan dia hanya ingin memberi tahu, marahnya ibumu adalah risiko yang harus kau terima dari kesalahan pilihan yang kau ambil sebelumnya.”

Jem, Ha Neul adalah sahabat karib ayahmu. Jadi mana mungkin dia tidak peduli padamu, dan tidak mungkin dia membiarkan Jeno membencimu. Mereka hanya sama-sama punya gengsi untuk menunjukkan cinta.”

Sama halnya dengan Jeno. Jika boleh mengingat ke belakang, malam tadi tanpa sepengetahuan yang lain, Jeno membangunkan Mark hanya untuk sekedar menemaninya minum sekaleng soju di balkon apartemen.

“Kau bandel sekali! Sudah tahu tidak boleh, tapi masih saja minum.”

“Hanya satu kaleng, setelah itu sudah tidak lagi.”

“Buang jauh-jauh kalengnya jika sudah habis. Jangan biarkan Chenle dan Jisung melihatnya. Kurasa tidak baik kalau anak di bawah umur melihat kaleng minuman seperti ini, apa lagi tahu kalau salah satu kakaknya meminum minuman semacam ini.”

“Mm... aku mengerti Hyung.”

Sejenak hening. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Mark yang sibuk memikirkan cara untuk mendamaikan Jeno dan Jaemin, sementara Jeno sibuk memikirkan...

Hyung, apa aku benar-benar sudah keterlaluan padanya?” 

Mark menoleh pada Jeno yang duduk di sebelahnya. “Pada Jaemin maksudmu?”
Jeno mengangguk.

“Sejujurnya aku tidak pernah bermaksud jahat, aku hanya tidak suka melihat dia bertingkah seperti seorang pengecut. Dia harus menghadapi ibunya, mau tidak mau.”

“Aku mengerti maksudmu dari awal. Tapi sepertinya kau bertindak di situasi yang kurang tepat.” 

Jeno menoleh, menatap Mark yang sudah lebih dulu menatapnya.

Sorry, Jen, bukannya aku menyalahkanmu, tapi kita semua sudah tahu alasan kenapa Jaemin belum memberi tahu ibunya soal kegiatan treneenya bersama kita. Jaemin pasti sudah lebih dulu paham reaksi seperti apa yang akan ibunya berikan kalau tahu anaknya terjun ke hal-hal yang dia larang. Aku yakin Jaemin sudah tahu akan ada pertentangan. Dan diamnya Jaemin saat ini bukan semata-mata dia takut pada ibunya, tapi dia lebih memilih untuk menjaga hubungan dan perasaan ibunya. Hanya itu.”

Jeno menghela napas.

“Kau benar, Hyung. Aku ceroboh.”

Mark tersenyum tipis lantas menepuk-nepuk pundak Jeno.

“Sekarang ke mana dia, apa dia benar-benar tidak akan pulang?”

“Kau mengkhawatirkannya?”

“Sialnya begitu.” Jeno meneguk minumannya.

Senyuman Mark semakin lebar, dia tahu pada dasarnya Jeno adalah anak yang baik. Anak ini bukan anak yang senang berbuat onar, hanya saja Mark belum paham, apa yang mendasari Jeno melampiaskan segalanya kepada sebuah minuman bernama soju.

“Jangan dulu salah sangka. Dia anak baru di sini. Dia belum hafal betul jalanan Seoul. Bagaimana kalau dia kenapa-kenapa di jalan, atau bahkan dia memilih berenang ke sungai Han?”

Mark tertawa ringan. “Berenang? Untuk apa malam-malam begini Jaemin berenang di sungai Han? Ada-ada saja kau.”

“Dia tidak bisa berenang, Hyung.”

“Mwo?” Mark agak terkejut mendengarnya.

Jeno mengangguk. “Setiap anak-anak yang lain mengajaknya berenang, anak itu selalu menolak dengan alasan dia tidak senang basah.”

“Tapi bukan berarti Jaemin tidak bisa berenang, Jeno.”

“Coba saja Hyung ajak dia berenang, dia pasti menolak. Jadi jangan pernah memaksa dia untuk berenang.”

“Oh...” Suara dan tatapan Mark seolah menggoda adiknya.

“J-jangan salah paham dulu, bukan berarti aku peduli padanya, aku hanya memberi tahumu Hyung.”

Mark terkekeh latas merangkulnya. “Jeno, apa pun katamu, sikapmu adalah bentuk sebuah kepedulian. Kau mengerti?” Mark berdiri dari duduknya.

“Ah, ya satu lagi. Jaemin malam ini menginap di apartemen ayahku. Jadi kau tidak perlu khawatir lagi dia akan berenang di sungai Han.”

Jeno menghela napas pelan.
Matanya melirik sekilas Jaemin yang berdiri di sebelahnya kini.

Peduli?

Apa Mark bercanda?

“Sejauh ini, tidak ada kesalahan. Aku harap kalian pertahankan performa seperti ini. Sampai di sini dulu, sampai bertemu besok.”   

Semua mengangguk dan membungkuk memberi salam  pada sang pelatih, terkecuali Jeno, tubuhnya diam mematung dengan tatapan kosong menatap ujung sepatunya. Fokusnya hilang, mana bisa  dia memperhatikan dengan baik sedangkan kepalanya tengah bekerja keras mencari arti sesungguhnya dari sikap dan perasaannya.

🐰🐰🐰

Hai, hai, hai...

Temarania aku kembali 🤗

Gimana masih penasaran sama kelanjutan ceritanya?

Makanya jangan lupa like dan komen ya, supaya author semakin semangat lagi nulisnya.

Dan semangat juga untuk Temarania yang sedang menjalani ibadah puasa 😄

Love 💚


HANYA JIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang