Kim Ha Neul

88 18 4
                                    

Mobil sedan berwarna hitam yang dikendarai Dae Hyun berhenti di sebuah lokasi yang amat jarang dia kunjungi.

Bersama keempat sahabatnya, Dae Hyun turun dan masuk ke sebuah bangunan dengan penjagaan ketat.

Dengan alasan yang jelas, para petugas lapas mengizinkan mereka masuk dan menunggu di sebuah ruangan.

Tidak lama, sekitar kurang dari sepuluh menit seorang pria dengan baju tahanan keluar menemui mereka.

Dae Hyun tersenyum, pun dengan empat orang lainnya. Mereka berusaha tersenyum meski berbanding terbalik dengan suara hati mereka yang berteriak prihatin dan sedih melihat kondisi sahabat mereka yang satu ini.

Pria bernama Kim Ha Neul itu menghela napas saat melihat segerombolan manusia yang selalu buatnya jengah. 

“Weo?” Ha Neul duduk di sebuah kursi menghadap mereka yang hanya terhalang kaca.

Pria itu tak berubah. Tatapan juga cara bicaranya yang dingin tak pernah enyah meski mereka sudah hampir tujuh tahun tak bersama.

“Bagaimana kabarmu?” Dae Hyun membuka percakapan.

“Aku tidak pernah baik-baik saja, Hyung.”
Dae Hyun tersenyum tipis.

Ya, Ha Neul tidak salah. Lagi pula siapa yang akan merasa baik jika berada di balik jeruji besi. Dae Hyun merasa bodoh kali ini.

“Kenapa kau membawa mereka?”

“Yakk! Kenapa kau bertanya seperti itu? Sudah jelas  kami ke mari karena peduli padamu! Salah kalau kami merindukanmu?! Heu?!” ucap Yeon Han kesal.

Ha Neul memutar bola mata malas, bahkan dia sempat membuang wajah. Baginya ucapan Yeon Han hanyalah sebuah kebohongan belaka.

Aish! Kalau saja tidak ada kaca pembatas ini sudah kujambak rambutmu Kim Ha Neul!” Yeon Han semakin tersulut emosi.

Yakk! Jaga ucapanmu, dia bisa saja memecahkan kaca ini dengan sekali pukulan dan menjambak rambutmu lebih dulu sampai habis!” ucap Yingji.

“Kau tidak lihat tubuhnya yang semakin kekar itu?” sambung Yingji.

Yeon Han menghela napas. Dia akhirnya bungkam tak ingin merusak momen berkumpul keenam anggota 790 (seven go) untuk yang kali pertamanya lagi setelah 17 tahun. Meski bukan di tempat menyeramkan seperti ini yang Yeong Han harapkan.

“Ha Neul~ah, kau tahu kami membawa siapa?” Yingji menunjuk seorang pria di belakangnya.

Xioji membuka kacamata hitamnya. Dia tersenyum tipis lalu melambaikan tangan.

“Annyeong, hyung.”

“Kau?!”

Ekspresi wajah Ha Neul berubah kesal.

“Seharusnya kau juga ada di posisiku. Kau lari dari tanggung jawab, Xioji!”

Hyung, bukan begitu maksudku. Aku pun terluka karena Ye Jun. Aku-“

“Sudah diam! Berani-beraninya kau menyebut namanya tanpa rasa bersalah. Bahkan untuk melihat jenazah Ye Jun yang terakhir kalinya saja kau enggan! Kau malah pergi, menghilang, tanpa ada rasa tanggung jawab!”

“Kau pikir aku kuat melihatnya?” Ucap Xioji lirih dan menggeleng pelan.

“Aku bukan manusia sekuat kalian! Terserah kalian mau menganggapku apa, pecundang? Aku tidak peduli! Tapi satu yang harus kalian tahu, terutama kau -“ Xiojin menunjuk Ha Neul.

“Aku-“ Xioji menjeda ucapannya, dia tak kuasa mengucapkannya. Tapi harus! Dia harus mengungkapkan segala sakit yang dipendamnya selama belasan tahun ini.

“Tidak pernah bisa merelakan kematian Ye Jun sampai detik ini!!!” Xioji balik badan, keluar dari ruang itu setelah dia merasakan panas di kedua matanya.

Dae Hyun, Yingji, Yeon Han dan Jae Sun menghela napas pelan. Tidak ada yang mencegah Xiojin, mereka biarkan pria itu mengurus perasaannya sendiri.

Hyung, kau sudah dengar kan? Jadi bukan kau saja yang merasa kehilangannya, kami juga.” Tutur Jae Sun.

Ha Neul menghela napas dan mengusap wajahnya kasar. Lelah, jika harus membahas persoalan yang tak pernah ada ujungnya.

“Ha Neul~ah... bukankah masa tahananmu tinggal beberapa bulan lagi?” Yingji bertanya.

“Hanya tinggal dua bulan lagi.” Jawabnya.

“Tapi... entahlah, mungkin masa tahananku akan bertambah.” Sambung Ha Neul.

Yakk! Apa kau bilang? Memang apa yang membuatmu betah berlama-lama di dalam sana?” Yingji menatapnya tak habis pikir.

Ha Neul menunduk tanpa mau menjawab. Baginya udara bebas di luar sana hanya akan membuatnya sesak oleh rasa bersalah.

“Ha Neul~la, anak laki-laki Ye Jun sekarang ada di Korea.”

Ha Neul mendongak perlahan mendengar perkataan Yeon Han.

“Anak yang kau khawatirkan itu sekarang ada bersama kami.” Lanjutnya.

Mata Ha Neul melebar. “Benarkah?”

Dae Hyun mengangguk. “Mm!”

“Song Jaemin, namanya.” Dae Hyun memperlihatkan sebuah foto Jaemin di ponselnya kepada Ha Neul.

“Sekarang dia menjadi trainee bersama anak-anak kita.” Yingji menambahkan.

Mata Ha Neul melebar. “S-song Jaemin?”

Dia amat sangat terkejut mendengar kabar itu. Terlebih lagi ketika Ha Neul melihat wajah Jaemin yang sangat mirip dengan mendingan sahabatnya itu.

“Jadi, cepatlah keluar dari sini. Jangan buat masalah apa pun lagi,”

Ha Neul masih bergeming, suara Yeon Han bagai angin yang lewat begitu saja di telinganya.

Dae Hyun mengangguk-angguk. “Jangan berlama-lama lagi, meja di ruanganmu sudah lama kosong. Jadi kembalilah ke perusahaan secepatnya.”

***

Lagi-lagi Jeno tak latihan dan membuat Renjun marah besar padanya. Hari ini, dia lebih memilih untuk menemui ayahnya. Sudah tiga bulan lamanya dia tidak duduk berhadapan dengan seorang pria yang kini tersenyum padanya itu.

“Kau tampak kurang baik, Nak?”

Jeno menghela napas lantas mengangguk.

“Siapa lagi yang sedang bertengkar denganmu? Haechan? Renjun? Jisung? Chenle?”

Jeno menggeleng.

“Renjun memang sedang marah padaku, tapi bukan karena itu.”

“Lantas?”

“Aku hanya sedang kehilangan minat berlatih.”

HaNeul tertawa ringan.

“Kau pasti merasa terusik,”

Jeno diam tidak merespons, dia hanya menatap ayahnya yang seolah-olah tak memiliki beban hidup dengan baju tahanan berwarna biru tua di badannya.

“Kudengar Jaemin ada di sini,”

Jeno enggan merespons. Dia memilih membuang wajahnya dari tatapan sang Ayah.

“Ingat, jangan buat masalah dengannya! Bagaimana pun Jaemin tidak tahu apa-apa,”

“Ck!” Jeno berdecak kesal. Salah satu alasan kedatangannya ke sini adalah setidaknya dia tidak melihat wajah anak itu sehari saja, namun di tempat menyeramkan ini pun bisa-bisanya dia mendengar nama anak itu!

“Ayah selalu membelanya. Sebenarnya siapa anakmu, aku atau dia?!”

“Bahkan bertemu dengannya saja Ayah belum pernah, tapi denganku, seolah-olah Ayah buta dengan keberadaanku!” Jeno menggeser kursinya keras hingga terdengar suara gesekan. Dia berdiri dan memutar badan hendak pergi.

“Bukan hanya Jaemin, tapi kau pun tidak tahu apa-apa Jeno.”

Jeno yang hendak pergi kembali menoleh ke belakang.

“Minggu depan Ayah pulang ke rumah, dan akan kembali ke perusahaan,”

Dan tanpa kata pamit dan tanpa mengindahkan berita baik dari ayahnya, Jeno berjalan keluar membawa segudang tanya.

“Apa yang aku tidak tahu?”

HANYA JIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang