Bagaimana Jika

86 23 10
                                    

Jaemin baru saja menyelesaikan kelasnya. Tanpa menunggu jemputan Chang Hee, Jaemin memilih untuk naik bus dan turun  di halte seberang gedung DJ Entertainment. Dari posisinya berdiri, Jaemin memperhatikan banyaknya masyarakat yang berkerumun di luar pagar gedung DJ Entertainment.

Masih ada waktu satu jam setengah sebelum latihannya dimulai. Jaemin menyeberang. Kakinya menelusuri jalanan trotoar gedung DJE yang sedang dipenuhi oleh penggemar Seven Go.

Matanya tak lepas memperhatikan banyaknya  penggemar yang menaruh berbagai rangkaian bunga dan menempelkan selembar kertas ucapan di dinding-dinding pagar perusahaan.

Seven Go kami merindukan kalian.
Berkumpullah kembali di atas panggu untuk kami.

Song Ye Jun aku merindukanmu.
Banyak yang meneriaki nama para anggota Seven Go, bahkan ada yang menangis, dan ada juga yang sedang memanjatkan doa di depan sebuah poster salah satu anggotanya.


Jaemin berhenti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jaemin berhenti.

Seluruh perhatiannya kini hanya tertuju pada poster ayahnya.

Dia tatap lamat-lamat wajah itu. Wajah yang tak pernah dia lihat aslinya. Wajah dari sosok yang hanya sekedar cerita baginya.

Appa,” ucapnya pelan nyaris berbisik.
Ya. Ini adalah hari kematian ayahnya.

“Aku kangen,”

"Kenapa Appa pergi secepat itu?" Beberapa detik Jaemin tampak terdiam memperhatikan wajah yang begitu mirip dengannya.

"Kenapa Appa tidak memberiku kesempatan untuk mengenalmu sebagaimana Appa memberi kesempan pada mereka?"

“Bisakah sehari saja Appa hadir di sampingku?” 

“Aku ingin merasakan rasanya bahagia karenamu seperti mereka, tapi kenapa itu seolah menjadi hal termahal yang tak bisa kutebus. Kenapa kau pergi tanpa memberiku kesempatan untuk mengenalmu, Appa? Weo?!”

Jaemin memejamkan kedua matanya, dia terisak sendiri. “Mianhae, Appa... selama ini aku belum pernah menunjukkan bentuk rasa cintaku padamu. Mianhae.” Batinnya.

“Ah?” Jaemin membuka kedua matanya saat di rasa ada seseorang yang memeluknya.

“Gwenchana, tangisi aja. Gue enggak bakalan cap lu cengeng, kok.”

Suara itu? Bahasanya?

Jaemin tak segan membalas dekapan itu erat-erat. Dia kembali terisak dan lama-lama isakan itu berubah menjadi luapan tangis yang tak terbendung lagi.
Meski merasakan sedihnya. Igam membungkam mulutnya agar tak ikut menangis, demi menguatkan sahabatnya.

***

"Dari kapan lu di sini?"

"Sebulan yang lalu,"

Kini dua sahabat itu teduduk di sebuah meja bulat depan sebuah mini market. Jaemin memperhatikan sahabatnya itu yang sesekali meneguk minuman kaleng bersoda. Kemeja biru yang sering dipakai oleh para sopir taxi.

Iya, rupanya sudah hampir satu bulan ini Igam bekerja sebagai sopir taxi.

"Kenapa gak bilang kalau lu udah di sini dari sebulan yang lalu?"

Igam tersenyum mendesah. "Gue udah hibungi lu, tapi yang angkat orang lain. Gue pikir lu udah ganti nomor,"

"Ah?" Kening Jaemin mengerut samar.

HANYA JIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang