Rumah

92 20 4
                                    

Senyuman itu menyambut Jaemin di depan pintu rumah keluarga Song.

Ya, di sinilah Jaemin sekarang. Di rumah orangtuanya. Rumah semasa kecil yang tak pernah berani Jaemin tandangi.

Namun nasihat Yeon Han saat makan malam tadi buatnya harus membawa nyali lebih demi menemui ibunya.

"Pulanglah, selagi masih ada yang menunggumu di rumah. Beritahu ibumu tentang duniamu saat ini, setidaknya itu akan meringankan bebanmu, Jem,"

“Ayo, masuk. Di luar dingin.”

Dengan langkah ragu, Jaemin mengikuti langkah ibunya.

Langkah pertama, kedua dan ketiganya di sambut oleh ruang tamu bernuansa putih dengan foto keluarga kecil mereka di dinding.

Tanpa berhenti untuk memandangi foto keluarga yang tampak bahagia itu, Jaemin masuk lebih dalam mengekori ibunya.

Sepasang mata hazel Jaemin tak henti-hentinya menelisik desain dan isi interior rumah bernuansa putih itu.

Pemandangan ini cukup asing baginya, akan tetapi entah mengapa suasana rumah ini cukup membuat Jaemin enggan untuk pergi.

“Kak?”

Jaemin menoleh. “Ya?”

“Sini,” Ibu menepuk-nepuk sofa, memintanya untuk duduk.

“Siapa yang mendesain rumah ini?” tanya Jaemin sembari menghampiri ibunya.

“Ayahmu. Kenapa, kau betah?”

Jaemin mengangguk lantas duduk  menyerong menghadap ibunya.

“Kamu sudah berziarah ke makam Appa?”

Jaemin mengangguk. “Paman Yeon Han yang mengajakku ke sana, tapi tidak lama,"

Dewi tersenyum. Tak apa, dia paham akan ketidak siapan Jaemin.

“Bu,”

“Ada apa? Kenapa tiba-tiba ingin pulang? Ada masalah?” Dewi mengusap luka sobek di sudut bibir anaknya.

Jaemin membuka jaket yang menutupi badan dan lengannya.

Jaemin mengulurkan kedua tangannya.

Bukan seorang ibu namanya jika tidak terkejut saat melihat banyak luka cambuk di kedua lengan anaknya. Dewi terbelalak.

“Astaga Kak, kenapa dengan tanganmu?”

“Paman Ha Neul memukuliku dan Jeno dengan ikat pinggangnya kemarin.”

“Ha Neul? Kenapa dia melakukan ini kepadamu?”

“Aku bertengkar dengan anaknya.”

“Apa?! Kamu bertengkar?”

Jaemin mengangguk.

“Apa yang sudah kamu lakukan sama Jeno, sampai-sampai Ha Neul melakukan ini?”

Jaemin menarik napas lebih dulu sebelum menceritakan serentetan kejadian tadi siang. Singkat, padat dan jelas.

“Itu sama saja kamu memancing Megalodon, Song Jaemin.”

Jaemin tersenyum. Benar yang ibunya katakan, keberanian yang dibarengi kecerobohannya hanya mengundang moster, bukan memudahkannya untuk menyelesaikan masalah.

“Tapi Jeno bilang Appa mati sia-sia. Padahal, kepergian Appa menjadi salah satu alasan mereka tetap hidup.”

Dewi menatap anaknya lama-lama, dan Jaemin hanya diam.

Song Jaemin. Hampir dua puluh tahun berlalu, tapi anak ini tidak menunjukkan perubahan. Wajah tenang bersama seutas senyum itulah yang selalu Dewi temukan setiap hari. Jaemin terlalu pandai mengemas perasaannya. Meski begitu, Dewi tetaplah ibunya. Sedikitnya waktu bersama dengan sang putra bukan berarti memutus tali batin ibu dan anak itu, Dewi tak buta akan bahasa kalbu yang tersirat dari kedua manik mata putranya. Jaemin sangat terluka.

HANYA JIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang