3. Gamara

3K 120 7
                                    

Naya memberikan senyumnya sebagai tanda terimakasih karena Gama sudah mau menemaninya seharian ini, benar-benar full. Dari balik lunch tadi, mereka pun masih menghabiskan sisa waktu setengah hari dikediaman marga Baskara itu.

"Ada apa?" tanya Naya, ketika Gama masih belum melepaskan tangannya. Pria itu pun mengantarnya pulang jalan kaki bersama. Padahal Naya sudah menolak, karena jarak rumah mereka pun dekat, Gama tidak harus repot-repot seperti ini.

"Kak Gama mau mampir dulu?" tanya Naya lagi. Gadis itu lantas menghela nafas pelan. Gama suka sekali diam ketika di tanya. Entah apa yang sedang di pikiran pria tampan ini.

Gama sungguh terpaku akan kecantikan Naya. Dimata pria itu Naya sudah nyaris sempurna karena kesempurnaan itu hanyalah milik Allah.

"Ya udah, aku mau masuk, mandi. Lepasin tangan aku," pintanya bersabar. Netra hazelnya menatap penuh wajah rupawan Gama. Gadis itu menggerakan tangannya di genggaman besar Gama. Alis gadis itu tampak naik, lalu terkekeh bingung.

"Kaaak! Kak Gama kenapa sih? Liatin terus, aku mau masuk, rumah. 5 menit cuma berdiri didepan pintu, udahlah sekalian masuk aja, yuk?" ajaknya kemudian lantas menarik Gama masuk ke dalam rumah.

Gama pun ikut masuk, mereka terlihat jalan bergandengan. Tak lama dari dapur, sosok wanita paruh baya yang masih tampak terlihat muda itu menghampirinya.

"Kamu ini pergi, nggak bilang Mama dulu. Sampe telfon kakakmu, kamu di telfon malah nggak aktif."

"Duduk, dulu Gam." imbuh Indi menunjuk ruang tengah-- tempat santai mereka.

Gama melepas tangan Naya darinya ketika Indi merangkul bahu kecil gadisnya. "Untung Mama kepikiran Tante Ifa, terus nanya dia, ternyata kamu disana. Huh, kamu ini bikin khawatir aja."

"Maaf ya Ma, aku beneran lupa ngomong sama Mama. Lagian aku lihat Mama lagi sibuk ngurus tanaman." tersenyum tipis.

"Aku mau mandi dulu, Ma, Kak, aku tinggal ya?" tak lama Gama mengangguk. Kini hanya Indi dan Gama duduk diruang tengah.

"Mama kamu masih sibuk dintuke, Gam? Tante belum sempet mampir kesana," tanya Indi pada Gama.

"Jarang, Tan." ujarnya, Ifa jarang ke butik, wanita itu mengurus dari rumah. Atas perintah suaminya. Walaupun sudah berumur 30-an tapi Abian Masih tetap sama seperti dulu, cemburu, posesif, protektif. Gama mengerti perasaan Papanya sebagai laki-laki tetapi terkadang kasihan pada Mamanya yang suntuk di rumah. Wanita itu membuat design-design gambar untuk menghibur diri atau tidak membuat cookies.

"Aaahh, pasti Papa mu itu yang menyuruh." tebak Indi sedikit disertai tawa.

"Iya," oke, Indi yang memang tidak pandai mencari topik pun menghadapi krisis pertanyaan. Gama terlalu sulit mencair.

"Tante ke dapur dulu buatin minum, sekalian aja makan malam disini ya? Bentar lagi Papanya Naya pulang." tawar Indi sebelum beranjak.

"Lain kali Tan, Gama ada urusan nanti." Indi mengangguk memahami. Lantas tersenyum tipis,"Tante tinggal sebentar."

Pandangan Gama naik pada teras tangga. Ekor matanya melirik sekilas beberapa figura figura kecil terpajang menampilkan keharmonisan keluarga ini.

***
Dari balik kacamata hitam. Tersirat tatapan penuh arti. "Maaf, aku lama tidak mengunjungimu." Tersenyum tipis. Ia mengambil nafas dalam. Lalu membuangnya pelan.

Bibir tebal itu sedikit bergetar. "Aku minta maaf, atas kesalahanku. Rasanya maaf saja tidak bisa untuk menebus keserakahan ini." terkekeh diakhir.

Tangannya menggapai sebuah nisan. Lalu mengusapnya pelan. Ia tertawa,"Aku terpaksa, aku terpaksa. Keadaan yang membuatku hilang akal."

Gamara's Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang