"Naya!" tersentak. Dengan nafas memburu tubuh itu terduduk spontan, terdapat sedikit peluh disekitar dahinya. Ia mematahkan kepalanya ke kanan--tertegun rupanya ia baru saja memimpikan kejadian gadis remaja yang jatuh saat mencoba belajar mengendarai sepeda motor kala itu.
Rasanya masih sama. Jantungnya berdebar kencang melihat kejadian Naya jatuh dari motor. Sakit sekali melihat Naya jika terluka.
Pukul 3 dini hari. Gamara menyibak selimut tebalnya sedikit kasar. Lantas berjalan keluar kamar. Entah apa yang akan dilakukannya, namun sampai di pintu utama langkah kaki itu terhenti.
Pikirannya tersadar, Naya tidak ada disini. Jika ia mendatangi rumah itu percuma saja. Sampai sekarang semua orang membisu tentang keberadaan gadis yang sangat Gamara cintai."Gama?" pria itu membalikkan badan secara otomatis. Tatapannya tetap datar.
"Ngapain didepan pintu? Kamu mau pergi kemana, pagi begini?" tanya Ifa, wanita masih muda dan cantik di umurnya yang menginjak usia 30-an.
Piyama tidur berwarna biru cukup menyorot di temaramnya penerangan itu. "Enggak papa, Gama balik kamar Ma." ucapnya tenang. Meninggalkan Ifa dengan pertanyaan. Wanita itu melihat kepergian anaknya dengan alis bertaut.
Gamara menghempaskan tubuhnya diatas kasur. Tatapannya jatuh melayang di langit-langit kamar bernuansa gelap.
Gamara bukanlah pria lemah. Justru dia memiliki sifat lebih keras kepala dari ayahnya. Hanya saja pria itu dapat mengendalikan diri.Terkadang ia merasa semua hal tidak berpihak padanya, terutama cinta. Menyedihkan sekali setiap malamnya harus terjaga karena perasaan yang sepi. Sebagai peralihannya pagi sampai sore Gamara gunakan untuk mengurus kerjaan kantor juga ambil sebagian kelas dimata kuliah.
Pendiam? Bukan, Gamara hanya irit bicara. Penurut? Gamara tidak suka di atur. Tapi jika itu semua di bawah kendali seorang Kanaya, pria itu seperti boneka si majikan.
Sayangnya, selama ini Naya tidak memanfaatkan itu semua. Sebab Gamara tidak lebih dari sekedar kakak bagi Naya. Gamara dimata Naya ialah seperti kakaknya sendiri. Bisa di artikan Gamara mencintai Kanaya seorang diri.
***
Pagi terasa menyegarkan sekali dipernapasan kini. Senyum sumringah tercetak jelas menampilkan deretan gigi bersih dan rapih itu. "Hah! Finally, bisa menghirup udara segar bandung lagi!" gumamnya jelas.
Sisa embun pun masih ada di dedaunan tanaman. "Naya, ayo turun." seru seseorang.
"Iya, Ma!" dia, Kanaya-- gadis cantik yang kini menginjak usia 19 tahun ini pun akan mulai mengurus surat kepindahan kuliahnya.
Kepindahan itu terjadi karena pekerjaan Tomy--Papa dari Kanaya itu seorang executive chief. Yang dimana mengharuskannya untuk dinas berpindah-pindah bisa dari kota satu ke kota lain atau bahkan negara.
Namun Tomy menyadari jika terus begini, anak-anaknya tidak bisa merasakan moment lebih lama dengan teman-teman. Sebab harus beradaptasi terus di setiap tempat.
Untuk hal itu, Tomy sudah memutuskan membuka restoran sendiri. Dan kini telah berjalan 6 bulan. Sudah ada dua resto yang Tomy buka, satu berada di Bandung kotanya sendiri dan kedua di Jakarta.
"Ayo sarapan, cepat." seru Tomy pada dua putrinya.
Nia menatap jam di pergelangan tangannya,"Masih terlalu pagi buat sarapan, Pa." ujarnya.
Indi tersenyum tipis sembari mengambilkan secentong nasi ke dalam piring Kanaya. "Makasih, Ma." katanya.
Tomy ikut melirik jam di pergelangan tangan kiri,"Sengaja. Kita akan pindah,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Gamara's
Teen FictionGamara Bagaskara adalah keturunan tunggal dari marga Bagaskara. Pria tampan itu penuh pesona dan karisma. Dan Kanaya odisa ialah gadis yang paling Gama cinta. Pria itu sangat menggilainya. Siapapun pasti akan merasakan akibatnya jika merebut Kanay...