Helpless

357 50 12
                                    

Waktu hampir mencapai tengah malam. Meskipun di luar sana masih banyak kendaraan berlalu lalang, koridor tempat Joss berjalan memang selalu lengang. Langkahnya menjadi satu-satunya hal yang bisa ia tangkap di telinga karena ia tak ingin menghitung detak jantungnya yang sakit.

Ia berkeras bahwa yang membuat dirinya mati-matian menekan pheromon hanya rasa marah saja. Marah yang tak diselingi perdebatan bahwa tekadnya melemah dalam hitungan bulan.

Lampu sudah dipadamkan, tersisa satu di pojok ruang tamu kondominimum tempatnya tinggal.

Joss meneruskan langkah ke kamarnya sendiri, membuka laci di samping tempat tidur lantas mengambil sepucuk pistol dengan peluru siaga di dalamnya.

Pistolnya ringan, tekadnya yang berat karena goyah dan tak pasti. 

Ia bersyukur sepertinya Luke sudah pulas atau peluru pertamanya akan melenggang bebas pada sang Beta.  Dalam keadaan seperti itu, ia yakin kerja tangannya akan lebih cepat dari  kerja otaknya.

Kebiasaan Gawin yang tak mengunci pintu kamar menguntungkan, juga mengecewakan.

Gawin mempercayai Joss.

Lampu tidur membantu Joss menemukan tujuan dari pelurunya sedang terlentang damai. Ia mendekat perlahan lalu mengarahkan moncong pistolnya pada kening Gawin.

Ini sepadan. Nyawa dibalas nyawa, darah dibalas darah.

Joss bersumpah bahwa tangannya yang berkeringat dan bergetar bukan karena kesungguhannya goyah, tapi karena akhirnya tujuan seumur hidupnya berada di depan mata.

Anak kecil yang ia temui di taman bermain beberapa jam yang lalu membuatnya menyadari bahwa ia hampir hilang arah.

Ia tercemar, memalukan.

"Apa Paman datang sendirian?" Seorang anak laki-laki menarik ujung Hoodie putih yang Joss gunakan. Tampilannya lusuh dan menyedihkan.

Joss mengabaikannya karena tujuannya datang ke taman bermain bukan untuk mengobrol dengan anak ingusan.

"Paman mau dengar ceritaku tidak?" Si anak laki-laki terus mengikuti Joss.

"Tentang seorang anak laki-laki yang ibunya tenggelam di sungai padahal sebenarnya dangkal. Kata orang, ada orang jahat yang melukai dan mendorongnya ke sungai."

Joss menghentikan langkah, keningnya berkerut mendengar cerita yang terlalu familiar.

"Ibu siapa yang kamu maksud?" Tanya Joss lagi ingin memastikan pendengarannya.

"Traktir aku es krim, paman. Aku akan menceritakan semuanya. Ini sudah jam 9 malam seperti yang dijanjikan, kan? Paman harus dengar cerita tentang ibu itu." Sang bocah menyeret Joss pada satu kios. Yang diseret membayar satu kotak es krim untuk sang bocah tanpa banyak tanya.

Siapa kiranya orang dibalik semua ini? Mengirimkan seorang bocah berusia 8 tahun untuk menyampaikan pesan, pintar sekali.

"Cerita tadi itu, cerita siapa?" Joss mulai bertanya.

"Cerita temanku, Paman. Anak laki-laki yang ditinggal ibunya karena raja jahat menginginkan tanahnya. Ibunya ditenggelamkan di sungai, uangnya dicuri karena rajanya ingin membangun sebuah menara untuk kekasih dan anak haramnya.  Menara yang bisa terlihat dari tempat tinggal raja."

Joss tahu soal itu. Tapi soal menara yang dimaksud, Joss tidak paham.

"Paman, tanah ibu temanku satu-satunya yang tersisa untuk dibanguni gedung tinggi, yang bisa saling berhadapan dengan menara istana. Kekasih haram raja tidak peduli ibu temanku tidak ingin menjual tanahnya, dia tetap mau tanah itu. Dia ingin terlihat oleh raja setiap saat dengan mudah."

Fall For YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang