Sebuah celana panjang berwarna hitam yang nyaman serta kemeja senada membalut tubuh Kana. Garis-garis wajah yang mulai menua masih memancar tampan. Sorot mata tegas Kana memeriksa kembali tampilannya di cermin, mata yang telah banyak melihat cara dunia bekerja, melewati omong kosong yang mendudukkannya di posisi tinggi namun sendiri.
Supirnya mengangguk hormat ketika Kana memberi tanda untuk mengantarnya ke pemakaman.
Pepohonan yang mereka lintasi berjejer di sepanjang jalan berperan sebagai proyektor untuk pria yang mulai beruban itu. Satu-persatu memorinya berputar seperti adegan dalam sebuah drama.
Awal pertemuan dengan sang raja di di sebuah resto ternama dengan dirinya sebagai pelayan, momen perkenalan yang ditingkahi dirinya mabuk oleh pheromon sang raja, hingga malam hangat dimana Gawin dititipkan pada rahimnya.
Kana masih bergetar mengingat bagaimana rasanya menerima peluru di perut lalu hampir terpanggang hidup-hidup dengan Gawin yang histeris di sampingnya. Jauh lebih sakit daripada bulan-bulan menyiksa hamil dan melahirkan tanpa mate.
Lantas Gawinnya tak bisa ia temui lagi saat ini.
Air mata Kana jatuh begitu saja.
"Tuan, ada hal lain yang perlu saya lakukan sebelum kita turun dari mobil?" Sang supir memastikan satu dan lin hal sebelum tuannya memasuki istana.
Tentu saja Kana harus hadir ke pemakaman putranya.
"Tidak. Kembalilah, aku akan pulang sendiri nanti." Titah Kana lantas membuka pintu mobil, bergabung dengan kerumunan.
Semua orang reflek memberi jalan padanya. Mereka tahu siapa yang sedang diantar ke peristirahatan terakhirnya, momen itu bukan waktu yang tepat untuk mencibir atau bergosip.
Kana berjalan tenang, wajahnya tegak tanpa berniat menyapa orang-orang yang menatapnya di sepanjang jalan. Kakinya dengan mudah menemukan jalan menuju kompleks pemakaman istana yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki, melewati jalan pintas.
Ia pernah tinggal di sana untuk beberapa waktu, ia menjelajah cukup sering. Bahkan kakinya ingat letak semua hal di sana yang tak pernah berubah tatanya.
Cukup jauh ia berjalan. Kompleks pemakaman terletak di belakang istana, terpisah dari bangunan utama berpagar namun masih bagian dari istana.
Area pemakaman dipenuhi manusia berpakaian hitam, kontras dengan warna dominan tempat itu yang putih bersih. Jalan utama terbagi menjadi jalan setapak beberapa meter dari gerbang area tersebut.
Para bangsawan, petinggi yang menduduki kursi dewan perwakilan, orang-orang penting dalam segala bidang berkumpul lebih dekat dengan raja dan keluarganya.
Semakin ia mendekat, semakin ia tak leluasa bergerak.
Kalangan atas tidak ingin mengalah pada seorang Kana sekalipun, terlebih kerabat dekat Suppapong.
"Cih, masih punya muka datang ke istana rupanya." Cibir seorang pria dengan rambut abu-abu dan lipstik coklatnya.
"Diamlah! Yang mulia sedang berduka, tidak pantas membuat keributan di saat seperti ini. Abaikan saja." Seorang pria lain menegur hingga si lipstik coklat berdecih lalu membuang muka.
Kana mengedarkan pandangan. Mew Suppasit sedang berdiri memunggunginya. Ia memandangi dua peti mati tanpa gerakan berarti.
Di sudut lain Tuan Suppapong dan Zeus memasang wajah angkuh. Tak tampak rona kesedihan di wajah mereka. Sedangkan Saint menuntun putra mahkota mendekat pada Raja.
"Ah, maafkan saya, Tuan. Saya sedang bertugas mengawasi pemakaman. Anda baik-baik saja?" Seorang pria tinggi dengan hidung mancung membuyarkan fokus Kana. Ia menabrak Kana hampir terjajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fall For You
Fanfiction"kalaupun kita saling mencintai, apa darah yang mengalir di tubuh kita bahkan merestui?" Visual dan nama dari semua tokoh diambil hanya untuk kepentingan cerita yang bersifat fiksi, tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata apalagi bermaksud menj...