Bangunan Skylight yang didominasi dinding kaca selalu memungkinkan Kana untuk mengawasi matahari sejak ia menggeliat di pagi hari hingga mulai sayu di sore hari.
Sore itu, penghujung hari harusnya adalah saat yang dinanti penghuni bangunan perkantoran karena semakin langit menggurat warna keemasan, semakin dekat pula jam istirahat panjang mereka dari segala aktifitas fisik maupun otak yang melelahkan.
Tapi Kana seakan enggan beranjak. Ia mematung di ujung ruangannya, menghadap hamparan kota dan moncong istana di kejauhan. Berkali-kali ia menghela nafas berat hingga Boston tak berani mengingatkan bahwa tuannya itu harus segera pulang karena dua jam ke depan akan ada meeting dengan klien penting di luar jam kantor.
"Tanpa sadar aku menyerahkan Gawin pada pria itu." Suara Kana memecah hening.
"Aku melahirkan dan membesarkannya dengan harapan dia akan jauh dari kehidupan istana setelah dia melihat bagaimana aku harus tertembak dan hampir terbakar hidup-hidup. Aku menerima semua fasilitas yang pria itu berikan karena kupikir pria itu ingin Gawin hidup dengan layak di luar istana. Tapi pada akhirnya, aku membesarkannya untuk menuntaskan ambisi pria itu."
"Dia selalu meletakkan tahta di atas segalanya. Dia memilih tahtanya dibanding aku dan Gawin sejak awal, sekarang dia juga mengambil Gawin dariku..."
"Anda bisa meminta pertemuan dengan yang mulia untuk membicarakannya." Boston menawarkan solusi. Benar ia bekerja untuk Mew, tapi tak memungkiri bahwa tindakan orang nomor satu di negeri itu sama sekali tidak mempertimbangkan tuannya sebagai orang yang melahirkan Gawin.
"Percuma. Dia mengirim utusan hanya untuk memberitahuku bahwa Gawinku akan pulang dalam beberapa hari, dan aku tidak diberi kesempatan untuk bertemu dengannya. Bahkan Gawin sendiri menolak untuk bicara denganku." Sahut Kana sedih.
Boston terdiam. Mew Suppasit yang sedang tidak jernih dan kekuasaan adalah perpaduan yang pas untuk dijadikan musuh.
"Joss Wayar. Kalau saja aku memeriksa latar belakang anak itu lebih teliti, mungkin aku bisa menghindari semuanya. Ini bahkan lebih buruk dari kasus Urassaya." Kana belum berhenti menumpahkan cemasnya. Boston tak tahu harus menjawab apa karena tidak biasanya mereka berdua, Kana dan Boston, punya sesi curhat semacam itu.
Tiba-tiba Kana berbalik menghampiri Boston.
"Apa kau bisa mengatur agar aku bisa menyusup ke istana? Aku ingin menemui putraku sebelum dia bertemu orang lain. Kau pasti tahu kapan tepatnya dia akan datang. Kalau aku tidak bisa masuk ke istana, atur supaya aku bisa bicara dengannya begitu dia turun dari pesawat." Mata Kana berpijar harap.
"Tuan, saya tidak bisa melakukan itu."
"Tapi kamu tahu kapan tepatnya dia akan datang, kan?"
"Saya tidak tahu. Segala hal yang menyangkut Tuan Gawin bukan lagi tugas saya sejak pengawal pribadi yang mulia mengambil alih. Saya tidak bisa membantu."
"Kalau begitu bisakah kamu membujuk orang yang mengawal Gawin untuk bekerja sama?"
Boston menggeleng, "Saya bahkan tidak tahu siapa yang mengawal Gawin saat ini."
Kana menghela nafas kecewa. Ia kembali pada titik ia berdiri dengan wajah cemas.
"Sayangku, aku harap kau tidak membuat keputusan yang akan kamu sesali." Monolog Kana penuh cemas.
Gawin seperti melangkah pada kegelapan tanpa dirinya.
.
.
.
Area istana terdiri dari satu bangunan inti dan beberapa bangunan yang mendampingi bangunan utama. Selain gedung megah, sepertiga dari luas tanah yang dikungkung pagar tinggi itu merupakan ruang terbuka dengan rumput hijau di berbagai sisi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Fall For You
Fanfic"kalaupun kita saling mencintai, apa darah yang mengalir di tubuh kita bahkan merestui?" Visual dan nama dari semua tokoh diambil hanya untuk kepentingan cerita yang bersifat fiksi, tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata apalagi bermaksud menj...