23. Ketahuan (?)

225 20 4
                                    

"Kak Elsa," gumam sosok gadis yang perlahan membuka kedua matanya. Ia mengerutkan kening saat pandangan yang semula kabur, perlahan menjadi jelas. Untuk meyakini diri bahwa yang dilihatnya bukanlah ilusi, ia pun kembali memejamkan mata.

"Eca sudah sadar, Mom," ucap Emmanuel seraya memeluk tubuh sang mommy yang berada di sisi kanannya.

Suara isak tangis yang memasuki rungu nona muda Evander, membuatnya terpaksa membuka mata kembali.  Ia menatap satu per satu anggota keluarga Evander yang berdiri mengelilingi ranjang rumah sakit yang ditempatinya. Tiga kakak laki-laki yang sudah menikah, memeluk istri masing-masing. Namun, ia tak menemukan keberadaan Elmira. Sehingga Eidlan pun memeluk Emmanuel dan sang mommy. Hanya tuan Evander yang tak ikut mengerubungi gadis yang diam-diam tersenyum samar.

"Pergi," pinta Eisha mencoba mengalihkan pandangan dari mereka semua.

Tak ada lagi yang bisa diharapkan dari keluarga Evander yang begitu labil. Eisha tidak ingin dipermainkan untuk kesekian kali. Jika mereka sudah tak menganggap dirinya sebagai bagian keluarga, maka dengan senang hati ia akan pergi. Eisha sudah lelah akan ketidakjelasan di dalam hidupnya ini.

"Eca haus? Mas ambilkan minum, ya?" tanya Emmanuel bersemangat.

"Pergi! Aku tidak butuh kalian semua!" bentak Eisha membuat pergerakan tuan muda kelima Evander terhenti.

Rasa kecewa nona muda Evander sudah mendarah daging. Mereka semua tersadar akan kesalahan masing-masing. Emmanuel yang menjadi harapan terakhir pun turut memberi kekecewaan.

Eisha telah melewati masa kritisnya. Penawar racun mereka dapat dari sebuah paket yang dikirimkan oleh seseorang yang tak mencantumkan nama serta alamat. Sehingga Edzard dan Zia menugaskan beberapa orang untuk menyelidiki pengirim penawar racun tersebut. Namun, sampai saat ini tak ada petunjuk yang mereka dapatkan.

"Eca," panggil Eleana seraya membelai pipi sang putri, tetapi Eisha segera memalingkan ke arah lain.

"Mom, biarkan Eca istirahat," pungkas Edzard seraya menuntun sang mommy menuju sofa di ruang rawat VVIP ini. Lalu disusul oleh yang lain.

Eisha melayangkan tatapan intens pada istri kakak sulungnya yang tak ikut menjauh. Wanita itu malah menyodorkan segelas air. Ia yang merasa haus pun akhirnya meminum air tersebut dengan dibantu oleh Zia.

"Makan ya, Ca? Kak Zia suapi."

Tanpa menunggu jawaban sang adik ipar, Zia langsung saja menyuapkan sesendok bubur ke arah mulut Eisha yang terbuka sebab hendak menyahuti perkataannya. Dengan mata melotot, nona muda Evander mengunyah pelan bubur tersebut sebelum menelannya.

"Sudah. Aku sudah kenyang," tolak Eisha saat Zia ingin menyuapinya lagi.

"Kenyang makan apa? Kau baru makan satu suap, Eca!" serunya menahan diri untuk tidak mencekoki gadis yang sayangnya adalah keturunan perempuan satu-satunya di keluarga Evander.

"Makan hati," ceplos Eisha membuat kakak ipar dan anggota keluarga yang lain terdiam seribu bahasa.

Perlahan, Zia menjauh. Wanita itu mendudukkan diri di samping sang suami. Mereka mengamati gadis yang kembali memejamkan mata. Gadis itu tampak menahan rasa sakit. Ringisan pelan dan buliran bening yang mengalir dari sudut matanya, membuat Edzard segera menghampiri.

"Mana yang sakit?" tanya tuan muda pertama Evander seraya menghapus jejak air mata sang adik.

Eisha menggeleng pelan. Ia menggunakan satu tangan yang terbebas dari infus untuk menutupi wajah. Tak lama kemudian, terdengar suara tangisan yang membuat anggota keluarga yang lain bergegas mendekat. Emmanuel menyingkirkan tubuh kakak sulungnya, lalu mengelus kepala nona muda Evander.

EISHAYANG Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang