27. Ekanaya

228 21 3
                                    

"Mom, Kak Ezra masih mengunci pintu kamar. Nuel sudah mencoba pakai kunci cadangan, tapi pintunya belum bisa terbuka," jelas Emmanuel pada keluarganya.

Sampai makan malam tiba, sepasang ayah dan anak itu terus mendekam di dalam kamar. Membuat keluarga Evander merasa cemas. Mereka harap Ezra tak lagi melarikan diri. Mengingat banyaknya bodyguard yang ditugaskan menjaga kediaman ini.

"Kita duluan makan saja," cetus Erland yang disetujui oleh semua orang.

Kedatangan Elan dan Eisha yang secara tidak sengaja bersamaan di ruang makan, membuat kegiatan makan mereka terhenti sejenak. Eleana dengan sigap menuntun putrinya untuk duduk, tetapi Eisha menolak. Gadis itu melanjutkan langkah menuju dapur dan mengambil segelas air putih.

"Eca, mau Mas ambilkan makanannya?" tawar Emmanuel yang tidak ditanggapi oleh nona muda Evander.

Elmira melirik ke arah sang suami. Untuk kesekian kali, ia melihat raut kesedihan adik iparnya yang disebabkan oleh Eisha. Entah, kapan keharmonisan keluarga ini kembali. Ia sudah tidak tahan dengan kerenggangan hubungan antara orangtua dan anaknya, serta seorang kakak dengan adiknya.

"Aku makan di kamar," ucap Elan setelah mengambil sepiring nasi dan lauk-pauk.

"Bawakan juga untuk Ekanaya. Bagaimanapun dia masih istrimu, Elan." Eleana berdeham saat tatapan tajam dari beberapa arah menyergapnya. Ia kembali melanjutkan kegiatan makan, seolah tak menyadari ketidaksenangan anggota keluarganya.

Elan menghela napas panjang. "Ya, Mom."

Melihat raut keterpaksaan di wajah tuan muda keempat Evander membuat Eisha tersenyum tipis. Gadis itu masih berdiri tak jauh dari meja makan. Ia tahu apa yang terjadi dalam rumah tangga Elan dan Ekanaya. Lalu, sebagai orang tertua di keluarga ini, Erland tak memberi tanggapan apa pun atas perubahan sikap Elan yang tak lagi memerhatikan istrinya. Sementara Eleana, wanita tersebut masih memiliki kepedulian. Meski tak menunjukkannya secara gamblang.

"Jangan sampai kau seperti tokoh novel bibi Elina," gumam nona muda Evander.

Suasana di ruang makan mendadak hening. Eisha segera melarikan diri demi menghindari pertanyaan-pertanyaan yang akan dilayangkan kedua orangtuanya. Sebab, tak ada satu pun tuan muda Evander yang mengetahui tentang karangan fiksi kakak perempuan nyonya Evander. Kecuali Ezra.

"Mengapa aku bisa kelepasan, sih?" gerutunya tanpa sadar menghentikan langkah di depan pintu kamar Ezra. "Sejak kapan pintu ini terkunci?"

Eisha tak tahu dan tak diberitahu tentang keberadaan tuan muda kedua Evander di sini. Kamarnya yang kedap suara dan kesibukannya menonton film, membuat gadis tersebut begitu betah mendekam dalam kamar. "Apa mereka sengaja, tidak memberiku akses masuk ke kamar Kak Ezra? Tapi mengapa?"

Di tengah kebingungan yang melanda, ia memutuskan untuk kembali ke kamar. Kemudian, duduk termenung di sisi kasur hingga tertidur. Ia terbangun ketika listrik kediaman ini padam. Tak biasanya, pemadaman listrik terjadi tanpa ada pemberitahuan lebih dulu. Eisha yang merasa cukup janggal, memutuskan untuk mengeceknya. Namun, baru saja membuka pintu kamar, ia dikejutkan oleh dua sosok yang berjalan tergesa-gesa menuruni anak tangga. Lalu, disusul oleh seorang pria yang dari postur tubuhnya sangat tidak asing.

"Kalian semua terlalu bodoh," tutur Ezra yang siap angkat kaki dari kediaman keluarga Evander. Ia menganggukkan kepala saat para bodyguard menunduk sopan kepadanya. Karena, tuan mereka sebenarnya adalah Ezra. Bukan Erland atau pun Edzard. "Setelah aku pergi, kalian bisa menyalakan listriknya lagi. Lalu menyusul kami secepatnya."

Sekelebat bayangan yang berlari menyusul sang tuan, membuat mereka terkesiap. Para bodyguard membelalakkan mata saat sebuah tendangan maut mendarat di bagian belakang tubuh tuan mereka. Mengakibatkan Ezra terdorong ke arah depan dan berakhir jatuh tersungkur. Baru saja, Ezra ingin bangkit, tetapi Eisha lebih dulu menginjak punggungnya.

EISHAYANG Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang