14. Eron

237 23 4
                                    

Seorang gadis mengayunkan kaki menuju gundukan tanah ditemani oleh ibu dan Nafisa. Pagi ini, ia tak masuk sekolah. Naufal sudah membuatkan surat izin untuknya.

Eisha berjongkok di sisi makam sang malaikat penyelamat. Tangannya yang bergetar perlahan menyentuh batu nisan ayah Naufal. Bayang-bayang penyiksaan kembali terngiang. Isakan tangis sudah tak mampu dibendungnya. Elusan di punggung sedikit memberi ketenangan pada Eisha yang lagi-lagi dihantui rasa bersalah.

"P-Paman," ucapnya dengan lidah yang terasa kelu.

Eisha menutup kedua telinga saat suara benda yang mendarat di tubuh seorang pria dan teriakan yang begitu menyayat hati masuk ke dalam indra pendengaran. Ia merasa seperti berada di masa penculikan tersebut. Napasnya tercekat. Luka dan darah memenuhi tubuh pria yang terkulai lemas. Sejak semalam, Eisha selalu terbayang-bayang akan penyiksaan para penculik itu. Ia tidak tidur sampai fajar menyingsing. Karena setiap kali ia memejamkan mata, penyiksaan itu semakin jelas terlihat.

"Eca, tenang, Sayang. Tarik napas, lalu buang. Eca, dengarkan Ibu!" titah ibu seraya memegangi kedua lengannya.

"T-tidak! Jangan sakiti Paman! Eca mohon!! Eca mohon!!" racau Eisha dengan mata terpejam dan kedua tangan yang masih menutup kedua telinga.

"Eca!!" panggil ibu sedikit meninggikan suara.

Ibu menarik tangan Eisha dan menggenggamnya. "Eca, sadar. Buka matamu."

Perlahan, kelopak mata nona muda Evander terbuka. Eisha mendekap erat tubuh wanita yang sejak semalam berada di sisinya setiap kali traumanya kambuh. Tadi malam, ibu dan Nafisa tak bisa tidur nyenyak. Mereka menjaga Eisha yang terus mengigau dalam tidurnya. Kemudian, setelah itu Eisha tak bisa lagi memejamkan mata. Gadis itu terus dihantui bayang-bayang penyiksaan para penculik tersebut.

"Kita pulang, ya?" ajak ibu yang diangguki oleh Eisha.

Langkah Eisha terhenti di salah satu makam. Ia menatap lamat batu nisan makam tersebut. Membuat ibu dan Nafisa saling melempar pandangan bingung.

'Elsara Veronica Zygmunt,' benaknya.

Kedua tangan gadis tersebut terkepal erat. Ada dendam yang harus dibalas. Ia tak boleh lemah dan harus melawan rasa traumanya sendiri. Terlalu hanyut dalam rasa bersalah dan menyesal tak memiliki guna. Ia memang tak bisa melupakan ingatan kelamnya, tetapi setidaknya ia bisa menguasai diri saat ingatan itu kembali terngiang.

"Kak Elsa, kau tidak bunuh diri. Melainkan dibunuh," ujar Eisha membuat dua wanita di sisinya semakin mengerut bingung.

Seorang wanita berjalan tergesa-gesa menghampiri nona muda Evander yang terduduk seorang diri di sebuah bangku taman. Ia mengulurkan tangan, mengelus puncak kepala mantan adik iparnya. Penampilan wanita tersebut sedikit kacau. Kedua mata yang nampak sembab, tubuh yang mengurus, dan rambut yang tak dirawat dengan baik.

"Eca, bukan kau saja yang merasa kehilangan. Kakak juga. Tapi Kakak tidak akan sepertimu yang diam meratapi takdir yang sudah terjadi. Tunggu sebentar lagi, Kakak akan membalas dendam atas kecelakaan Ezra yang disengaja," ujar Elsara, lalu mengecup pelipis Eisha yang bergeming di tempat.

"Disengaja?" gumam Eisha menoleh ke arah wanita yang menganggukkan kepalanya pelan.

"Serahkan kepada Kakak. Eca harus merahasiakan hal ini. Tidak boleh ada yang tahu, jika Eca ingin keluarga Evander selamat," paparnya seraya menggenggam tangan Eisha. "Satu hal yang perlu Eca ingat, jangan percaya kepada siapa pun. Termasuk keluarga Eca sendiri. Karena musuh terbesar kalian adalah orang terdekat kalian sendiri."

Obrolan singkat di antara mereka semakin membuat Eisha tidak tenang. Hampir selama satu minggu, ia menunggu kabar dari Elsara tanpa diketahui oleh siapa pun. Namun, kabar yang didapati di hari selanjutnya adalah kabar yang tak disangka-sangka. Elsara meninggal dunia. Menurut rumor yang beredar, wanita tersebut bunuh diri. Akan tetapi, Eisha tidak percaya. Peristiwa itu terjadi setelah satu bulan kepergian tuan muda kedua Evander.

EISHAYANG Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang