"Tumben sekali kita pulang cepat." Seorang siswi meletakkan tas ransel di atas meja cafe. Ia melirik teman-teman seperjuangannya dalam memenangkan olimpiade antar sekolah. Mereka sepakat merayakan kemenangan Naufal, Nafiza, Nathan, dan dirinya yang telah membanggakan SMA Pelita Jaya. Hanya mereka berempat yang berhasil membawa pulang piala dan piagam. Sementara yang lain tidak lolos dalam babak final.
"Syukuri saja," celetuk Nevan seraya melirik gadis yang diam-diam dikagumi.
Ternyata, ada banyak anak-anak OSIS yang ikut nongkrong di sini. Sebagai ketua organisasi tersebut, Nathan duduk bersama anggota-anggotanya yang lain. Ia melirik ke arah tiga siswi yang duduk satu meja bersama Narendra dan Naufal.
"Apa ada kabar tentang Eisha?" Pertanyaan yang terlontar dari mulut Nathan membuat suasana hening seketika. "Kenapa? Aku hanya bertanya saja."
Narendra menghela napas berat. Bukan hanya ketua OSIS saja yang merasa kehilangan. Ia dan yang lain pun sama. "Eca masih sulit ditemui. Keluarganya saja belum ada yang berhasil bertemu dengannya."
"Hah? Bagaimana maksudnya? Memang Eisha tidak pernah keluar kamar untuk makan atau apa gitu?" cerocos Nino tanpa sadar.
"Eca tidak tinggal bersama keluarganya. Dia tinggal sendiri di rumah mendiang kakak keduanya," sahut Naira membongkar rahasia nona muda Evander yang hanya diketahui oleh orang-orang terdekat saja.
"Makan makanannya sebelum dingin," tukas Naufal saat pesanan mereka selesai dihidangkan.
Seusai menghabiskan makanan masing-masing dan berbincang singkat, satu per satu dari mereka mulai berpamitan. Menyisakan Nafiza, Nadine, Naira, Naufal, Narendra, dan Nathan. Si ketua OSIS itu masih penasaran dengan kabar berita mengenai nona muda Evander.
"Teman-teman, aku ingin bicara sesuatu," ucap Nafiza menghentikan pergerakan mereka semua. "Sebenarnya saat itu Eca tidak merundung aku. Naomi yang melakukan. Dia tidak terima kalau ibuku menikah dengan ayahnya."
Nafiza menundukkan kepala dalam-dalam. Ia tak memiliki keberanian untuk bersitatap dengan mereka. Rasa takut dan bersalah kini bercampur aduk. Air mata yang sedari tadi dibendung pun akhirnya mengalir dengan deras. "A-Aku minta maaf. Saat itu, Naomi mengancam akan mencelakai Eca. J-Jadi aku terpaksa membenarkan kabar perundungan itu."
"A-Aku mohon, bantu aku untuk bertemu dengan Eca. Aku ingin minta maaf dan menjelaskan semua ini."
Tak ada satu pun dari mereka yang bersuara. Termasuk Naira dan Nadine. Dua gadis itu mencuri-curi pandang pada para pemuda. Jika Narendra tampak menahan amarah dengan memejamkan mata sesaat, berbeda Naufal yang langsung angkat kaki sana.
"Apa yang kau takuti dari Naomi?" Nathan menatap tajam seorang gadis yang menangis tanpa suara. Wajahnya tsmpak merah padam. Kedua tangannya terkepal erat di sisi tubuh. "Eisha jauh lebih kuat dari dia, Za!! Apa kau tidak tahu itu?!"
"Jangan meneriaki Nafiza!!" bentak Narendra merasa tak terima saat ada pemuda yang berbicara dengan nada tinggi kepada gadis tambatan hatinya.
Nathan terkekeh. Ia menatap Narenda dan Nafiza bergantian. "Ah, ternyata isu itu benar. Baiklah, aku pergi. Sampai jumpa di sekolah besok."
Hati ketua OSIS itu berbunga-bunga. Ia merasa senang karena saingan dalam memperebutkan nona muda Evander telah berkurang satu. Namun, raut wajahnya berubah murung saat teringat saingannya yang lain. Masih ada Naufal, Noland, dan mungkin Nando.
"Mengapa aku suka pada gadis yang disukai banyak pemuda?" gerutu Nathan seraya menghela napas panjang.
***
Setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya nona muda Evander tiba di mansion megah nan mewah ini. Di sampingnya ada Nicko yang mempersilakan masuk. Para pekerja yang semula sibuk dengan pekerjaan masing-masing seketika terhenti saat melihat kedatangan gadis yang sudah lama tak berkunjung.
KAMU SEDANG MEMBACA
EISHAYANG
Teen FictionKasih sayang dan cinta tak lagi melimpah ruah. Eisha tidak lebih dari seorang anak bungsu yang tak seberuntung bungsu lainnya. Hanya ada sosok kakak laki-laki kelima yang selalu berada di sisi Eisha. Lelaki yang tiba-tiba muncul di sekolah SMA Pelit...