Suara tawa menggema. Raut terkejut di wajah mereka perlahan memudar, digantikan dengan raut kebingungan. Eisha merasa puas. Gadis itu memegangi perutnya yang sakit menggunakan satu tangan. Sementara tangan lainnya memukuli orang yang berada di dekatnya. Naira menghela napas panjang. Ia segera menggeser kursi yang diduduki agar tak menjadi korban kebiasaan buruk Eisha.
"Aduh, puas banget gue!" serunya sembari menyeka sudut mata yang berair.
Setelah menghentikan tawa, ia tersenyum-senyum sendiri. Membuat teman sekelasnya merasa sangat geram. Jika tidak ada pawang Eisha yang sejak tadi melayangkan tatapan tajam yang mematikan, mereka pastikan sudah menyerang gadis itu.
"Oke-oke, karena aku udah anggap kalian teman. Tapi emang beneran udah jadi teman sih, teman sekelas. Jadi, aku akan jujur. Kalo—" ucap Eisha terpotong oleh suara ketukan pintu.
Kemunculan dua orang siswi membuat sang ketua kelas melangkah mendekat. Nasya bersedekap dada. Mengangkat sebelah alis ke arah mereka yang menelan ludah gugup.
"Ada apa?" tanya Nasya melayangkan tatapan intens.
"A-anu Kak, Kak Naufal dan Kak Nafiza dipanggil kepala sekolah," jawab salah satu dari dua siswi tersebut tanpa berani menatap lawan bicaranya.
Nafiza melirik ke arah Naufal, lalu beranjak meninggalkan kelas. Disusul oleh Naufal yang berjalan sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku. Membuat ketampanannya bertambah berkali lipat.
"Satu lagi, Kak. Kak Eisha dipanggil ke ruang guru," lanjut siswi tersebut, kemudian berpamitan pada Nasya yang melirik ke arah nona muda Evander.
Dengan amat terpaksa, Eisha memenuhi panggilan guru yang memanggilnya. Ketiga sahabat Eisha terus menerka-nerka ulah apalagi yang dibuat oleh gadis itu. Sementara Eisha tidak merasa melakukan apa-apa sejak kemarin. Kaki Eisha terhenti saat tiba di ruang kepala sekolah. Ia tersenyum tipis melihat pintu ruangan yang terbuka sedikit. Sebelum beraksi, ia menengok ke kanan-kiri. Mengamati situasi yang cukup sepi ini. Eisha mengintip melalui celah pintu. Di dalam sana, terdapat Naufal dan Nafiza yang duduk berhadapan dengan kepala sekolah.
"Sayang sekali, tempat ditengah sofa itu," gumamnya menyayangkan kekosongan tempat yang menjadi jarak aman di antara mereka.
"Bagaimana? Apa kalian bersedia? Masih ada waktu dua minggu untuk mempersiapkan diri untuk olimpiade agama yang akan kalian ikuti. Akan ada Pak Taufik, Pak Manu, dan Bu Asma yang akan membantu kalian," tutur kepala sekolah penuh harap jika mereka yang menjabat sebagai ketua dan wakil rohis itu bersedia mengikuti olimpiade tersebut.
Eisha tersenyum samar. Ia memundurkan langkah—menjauhi ruangan tersebut. Kedua matanya mulai berembun. Sampai kapan pun, ia tak akan bisa sepintar mereka. Ia tak bisa membayangkan, jika sang daddy tahu bahwa pemuda yang dibantu dibiayai sekolah kembali mengikuti lomba olimpiade untuk kesekian kali.
"Aku payah, bodoh! Tidak berguna!" cecar Eisha kepada dirinya sendiri.
"Kau salah! Berhenti memandang rendah dirimu sendiri, Eishayang," tegur seseorang yang tiba-tiba muncul di depan nona muda Evander.
Tatapan mengintimidasi menyergap Nando yang menyeringai. Siswa itu hendak merangkul bahu Eisha, tetapi gadis tersebut lebih dulu menghindar. Membuat Nando terkekeh. Ia menelisik penampilan sang gadis pujaan hati yang lebih tertutup. Kerudung berwarna putih yang membalut kepala Eisha, membuat dirinya terkesima.
"Ya Tuhan! Kau sangat cantik, Eisha!" pekik Nando berbinar. "Aku semakin jatuh hati padamu, Sha."
Eisha menghela napas panjang. Ia menarik sudut bibir membentuk senyuman simpul. "Ah, terima kasih, Nando. Tapi aku tidak bisa menerima hati siapa pun, tanpa persetujuan kakak-kakakku."
KAMU SEDANG MEMBACA
EISHAYANG
Teen FictionKasih sayang dan cinta tak lagi melimpah ruah. Eisha tidak lebih dari seorang anak bungsu yang tak seberuntung bungsu lainnya. Hanya ada sosok kakak laki-laki kelima yang selalu berada di sisi Eisha. Lelaki yang tiba-tiba muncul di sekolah SMA Pelit...