17. Tuan Kedua Evander

298 21 0
                                    

Mendengar suara ketukan pintu membuat seorang gadis beranjak dari duduknya menuju pintu utama. Tubuh gadis itu menegang mendapati sepasang suami-istri berdiri di depan pintu rumahnya. Serangan kecupan mendadak yang didapati membuat tangis nona muda Evander pecah. Ia memeluk tubuh wanita yang sudah dianggap sebagai kakak perempuannya.

"Kak Zeya... Eca merindukan kalian," ungkap Eisha berlinang air mata.

"Kakak juga merindukanmu, Ca." Zeya mengecup puncak kepala adik dari tuan suaminya itu. Lalu mengusap jejak air matanya. Selama ada mereka, Eisha tak boleh sedih. Mereka akan memberikan kasih sayang yang diidamkan selama lima tahun terakhir.

Zion memalingkan wajah, merasa tak kuasa melihat sisi rapuh gadis yang selalu menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja dengan segala ulah yang dilakukan. Meski setelah ingatannya kembali, gadis tersebut tak lagi berulah dan terkadang menunjukkan sisi lemahnya pada orang terdekat. Menandakan bahwa dia sudah tak sanggup lagi. Mereka harus segera menyelesaikan semuanya. Nona muda Evander harus kembali bahagia. Zion berjanji akan menyerahkan jiwa dan raganya demi menumpas kedok pria tua itu.

"Jangan minta Eca pulang ke sana. Eca tidak mau, Kak," pintanya yang sudah hafal akan kebiasaan mereka yang berkunjung setiap kali ia berada di rumah ini.

Zion dan Zeya selalu menyuruh dirinya pulang ke kediaman. Walaupun anggota keluarganya tak peduli, tetapi mereka terus mendesaknya. Seolah berada di sana adalah pilihan yang tepat. Namun, Eisha tidak tahan jika keberadaannya tak dianggap. Kejadian aneh yang seringkali terjadi, membuat keluarganya kembali menunjukkan ketidakpedulian. Eisha juga kecewa kepada mommy dan kakak kelimanya.

"Shhttt... Sudah, Kakak tidak meminta Eca pulang ke kediaman kok. Kakak hanya rindu dengan Eca dan ingin menghabiskan waktu bersama Eca di sini," sahut Zeya tersenyum hangat.

Eisha mengalihkan pandangan ke arah pria yang sedari tadi bergeming di tempat. Ia menatap dalam manik mata cokelatnya. Zion yang ditatap seperti itu seketika gelisah. Ia mengerti maksud tatapan gadis itu.

"Kak Zeya, Eca belum makan sejak pulang sekolah," adunya membuat Zion menelan ludah.

Zeya mengulum senyum. "Eca mau dimasakkan apa?"

"Apa saja."

Zion menggeleng pelan saat sang istri memandang ke arahnya. Ia yakin, jika Zeya tahu bahwa gadis tersebut hanya beralasan. Setiap kali ke sini, ia selalu terintimidasi oleh Eisha yang mencurigai dirinya mengenai beberapa hal. Namun, Zeya bersikap seolah tak tahu apa-apa. Wanita itu melangkah menuju dapur. Menyisakan Eisha dan Zion di ruang tamu.

"Apa kabar Paman?" tanya Eisha berbasa-basi. Ia mengikis jarak di antara mereka. Membuat Zion menatap was-was ke segala arah. Menyadari kewaspadaannya, Eisha pun terkekeh.

Satu pukulan yang dilayangkan nona muda Evander berhasil dihindari oleh Zion. Pria yang tak mungkin melawan apalagi melukai adik sang tuan. Eisha merasa geram saat lawannya selalu menghindar. Ia menghela napas panjang, kemudian melangkah ke arah sofa. Melalui ekor mata, ia menangkap Zion yang menurunkan kewaspadaan ke sekitar. Dengan gerakan cepat, ia memutar tubuh dan berlari mendekat. Eisha menendang perut pria yang merahasiakan hal-hal penting darinya. Ia murka karena setiap kali ditanya, Zion tak mau menjawab. Pria itu lebih memilih menjadi samsak tinjunya daripada mengkhianati kesetiaannya pada sang tuan.

Suara gaduh dari arah ruang tamu membuat Zeya segera menghampiri mereka. Wanita itu terbelalak saat sebilah pisau ditodongkan Eisha pada suaminya yang terduduk di lantai. Ia menatap ke arah lukisan—di mana letak kamera cctv tersembunyi di rumah ini. Jika sesuatu yang buruk terjadi pada suaminya, ia akan menyalahkan tuan mereka.

"Jangan ikut campur urusan kami," ucap Eisha dingin.

Zion memejamkan matanya sesaat benda tajam itu menyentuh kulit lehernya. Dari segala jenis benda-benda yang ditawarkan Zonathan pada masa latihan, Eisha lebih memilih pisau lipat yang selalu dibawa kemana pun ia pergi.

EISHAYANG Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang