"Perlahan-lahan ingatan Eisha sudah sepenuhnya kembali. Abang takut dia mengingat ingatan kelam itu," ungkap Edzard menundukkan kepala. Menahan desakan buliran bening di pelupuk matanya.
Malam ini, para tuan dan nyonya muda Evander berkumpul di kediaman. Si bungsu jatuh sakit membuat mereka memutuskan untuk menginap. Sekarang Edzard dan adik-adiknya berada di kamar Emmanuel. Lelaki yang sejak tadi diam menyimak dengan pikiran yang terus tertuju pada sang adik perempuan.
"Eca tidak akan mengingat jika tidak ada pemicunya," sahut Eidlan menatap lekat manik mata elang abang mereka.
"Maafkan aku," ujar Elan penuh sesal.
Edzard sudah menceritakan apa yang terjadi sore tadi. Ingatan Eisha mengenai kecelakaan kala itu sudah kembali. Hatinya berdenyut sakit saat sang adik perempuan takut akan kemurkaan tuan Evander hingga mengira dengan mengganti biaya yang dikeluarkan akan meminimalisir perlakuan kasar yang pernah didapati.
"Maaf Kak Elan tak berguna. Adikku, Eisha, terlanjur menderita," sarkas Emmanuel yang tak tahan melihat Eisha memendam segala penderitaannya seorang diri. Ia ingin menjadi bahu untuk gadis itu bersandar dan mendengar keluh kesahnya, tetapi Eisha enggan menjadikan sang kakak sebagai sandaran dan pendengar. Gadis tersebut sudah terbiasa akan luka-luka fisik atau hati.
"Benar yang dikatakan Eisha, jika wanita yang menjadi istrimu, bukanlah wanita baik-baik," sambungnya berhasil menyulut Elan yang amat mencintai sang istri, Ekanaya.
"Jangan membawa-bawa istriku, Nuel!! Dia tidak ada hubungannya ini semua!!" sangkal Elan menatap tajam adik bungsu laki-lakinya.
Emmanuel tertawa hambar. Cinta itu buta ternyata benar adanya. Sorot mata tersirat kebencian dapat dirasakan olehnya. Ia tak percaya jika tuan muda ketiga Evander diam-diam memiliki rasa benci pada adiknya sendiri.
"Pikirkanlah lagi. Jangan sampai Kak Elan menyesal di kemudian hari," pesannya, lalu beranjak meninggalkan mereka.
Sesosok gadis menuruni undakan tangga dengan tertatih. Pening di kepalanya belum berkurang sedikit pun. Ia merasa haus. Kedatangan para menantu Evander telah membuat sang nyonya melupakan putri bungsunya. Apalagi dengan kehadiran cucu laki-laki yang kelak meneruskan perusahaan keluarga Evander. Eijaz King Evander. Putra semata wayang Edzard dan Zia.
"Eca," gumamnya melihat siluet sang adik berjalan menuju dapur.
Suara gema tawa membuat Eisha tersenyum miris. Di ruang keluarga para wanita tengah menyaksikan tingkah Eijaz yang menggemaskan. Tak sengaja, ia bertatapan dengan nyonya muda ketiga Evander. Ekanaya. Istri dari Elan yang selalu mengibarkan bendera perang dengannya.
"Ah, airnya sudah mendidih," ucap Ekanaya mematikan kompor seraya melirik Eisha yang sedang menuangkan air ke dalam gelas.
Aroma harum kopi menyeruak masuk ke dalam indra penciuman. Semua pria Evander suka meminum kopi yang diseduh dengan air mendidih. Mata Eisha terus mengawasi pergerakan Ekanaya yang mencurigakan. Namun, ia lengah mendengar suara derap kaki yang mendekat.
"AAARRGGHH!!!" teriak Eisha saat kakinya tersiram air panas, disusul suara benda yang terjatuh di lantai.
Semuanya terjadi begitu cepat. Eisha merasa punggung kakinya melepuh. Air mata mengalir deras. Ia meremas ujung pakaian sebagai pelampiasan rasa sakitnya hingga tak menyadari jika Ekanaya meraih pecahan beling, lalu menggoreskannya pada telapak tangan.
"EKANAYA!!!" Jeritan Elmira membuat semua orang mendekat.
Ketiga tuan muda Evander yang berada di tangga segera berlari. Mereka terkejut melihat cairan merah mengucur deras dari telapak tangan seorang wanita yang terisak. Zia menuntun adik iparnya menuju ruang tengah untuk diobati. Mereka semua tak menyadari jika Eisha sedang menahan rasa sakit. Para tuan dan nyonya muda Evander hanya terpaku pada Ekanaya yang lagi-lagi berlakon.
KAMU SEDANG MEMBACA
EISHAYANG
Teen FictionKasih sayang dan cinta tak lagi melimpah ruah. Eisha tidak lebih dari seorang anak bungsu yang tak seberuntung bungsu lainnya. Hanya ada sosok kakak laki-laki kelima yang selalu berada di sisi Eisha. Lelaki yang tiba-tiba muncul di sekolah SMA Pelit...