04. Kebohongan Eisha

263 24 1
                                    

"Pak, jangan hubungi Daddy. Hubungi kakak pertamaku saja, Pak," bujuk Eisha pada kepala sekolah yang tetap dalam pendiriannya.

Pria tua itu menghubungi orangtua dari siswa-siswi yang tertangkap basah bolos sekolah. Bukan sekali atau dua kali, tetapi mereka sudah berkali-kali. Termasuk gadis yang memiliki hubungan dekat dengannya.

Setelah menunggu hampir setengah jam, akhirnya wali murid pun datang memenuhi ruang kepala sekolah. Para orangtua menatap anak mereka masing-masing. Pemanggilan orangtua ke sekolah sudah sering terjadi. Kecuali Eisha yang untuk pertama kali menyeret sang daddy ke dalam permasalahan yang dibuatnya. Satu per satu siswa dan siswi yang berdiri di sisinya mulai mengundurkan diri. Eisha meremas ujung rok selutut yang dikenakan. 

Suara pintu terbuka membuat gadis itu mendongak. Ia menatap dingin wajah pria yang meraih ponsel dari saku celana. Tak lama, seorang pemuda tiba. Eisha memicingkan mata menatap Naufal dan sang daddy bergantian.

"Mulai lusa Naufal akan memantau dan melaporkan segala gerak-gerikmu di sekolah," ujar tuan Evander. Pria tua itu mengangkat satu tangan ke udara saat Eisha hendak melayangkan protes padanya.

Naufal mengangguk. "Baik, Paman."

Eisha meronta saat dirinya diseret oleh Erland. Ia mendongak—menatap wajah daddy-nya yang merah pedam. Sesampainya di parkiran, ia dipaksa masuk. Sepanjang perjalanan menuju rumah, gadis itu selalu memalingkan wajah ke arah jendela.

Sosok pria di sampingnya sudah sangat berubah. Tak ada lagi tatapan penuh kasih. Kelembutan dalam bersikap. Ia tidak segan menghukum Eisha jika gadis itu melakukan kesalahan. Akan tetapi, selama ini Eisha berhasil menyembunyikan ulah yang dibuat. Karena Eisha masih memiliki sang abang yang siap mengurusi segala masalah yang dibuatnya.

"Masuk ke dalam kamarmu. Kau tidak diizinkan keluar rumah selama masa skorsing," titah Erland tanpa menatap wajah datar sang putri.

Suara bantingan pintu mobil membuat pria paruh baya itu memejamkan mata sesaat. Ia menatap putrinya yang berlari memasuki rumah. Suara benda terjatuh membuat Erland bergegas menyusul. Ia mengacak rambutnya frustasi melihat vas bunga yang sudah hancur tak berbentuk. Kebiasaan buruk Eisha adalah melempar sebuah barang sebagai pelampiasan amarah.

"EISHA!!" bentak Erland tepat di depan kamar sang putri.

Sudah cukup, ia diam atas segala tingkah gadis itu selama ini. Eisha, putri satu-satunya yang mereka miliki terlalu bersikap semena-mena. "Keluar! Daddy bilang keluar, Eisha!!"

Di dalam kamar, Eisha bersandar pada dinding dekat pintu. Ia menatap kosong ke arah depan. Pria yang sangat dirindukan, hanya akan berbicara jika dirinya berulah. Eisha juga lelah selama lima tahun terakhir selalu memakai berbagai macam topeng wajah jika berhadapan dengan orang yang berbeda. Tak ada seorang pun yang mengetahui wajah asli seorang Eisha, kecuali mereka yang sudah bertahun-tahun bersamanya.

"Seharusnya kau sadar diri. Kau tidak sepintar kakak-kakakmu. Tak ada yang bisa kau banggakan. Kau hanya bisa membuat nama keluargamu jelek di mata umum atas segala kenakalan yang kau lakukan, Eisha!" cerocos pria yang masih betah berdiri di depan pintu berwarna hijau toska itu.

Eisha tertawa hambar. Lagi-lagi, masalah kepintaran yang disinggung oleh pria tua bangka tersebut. "Sayangnya kau berani mengatakan hal itu jika tidak ada istrimu, Tuan Evander terhormat. Kau terlalu takut istrimu itu kecewa, bukan? Jika pria yang dipujanya, ternyata sangat membenci putrinya."

Kedua tangan Erland terkepal. Ia membuka pintu kamar yang ternyata tidak terkunci, lalu mengambil kunci yang menggantung. Suara pintu yang ditutup secara keras membuat Eisha tersenyum tipis. Ia tak pernah diperlakukan secara lembut oleh pria itu. Pria yang dulu sangat menyayangi dan mencintainya.

EISHAYANG Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang