24. Akhiri Permainan

224 25 2
                                    

Di sudut ruangan, dua bocah kembar berdiri sambil menundukkan kepala. Mereka telah terbebas dari situasi mencekam. Di mana enam orang dewasa menatap mereka dengan berbagai macam tatapan. Sehingga sebuah panggilan telepon membuat semua anggota keluarga Evander terburu-buru meninggalkan kantin. Entah, apa yang terjadi. Nana berharap, adik perempuan tuannya sedang dalam kondisi baik-baik saja.

"Sudah tahu kesalahan kalian?" tanya Ezra pada putra dan putrinya.

Ezkara mendongakkan kepala—memberanikan diri menatap sang ayah. Ia menggenggam tangan Ezkyla dan menariknya ke belakang tubuh. Seolah melindungi sang kembaran dari kemarahan ayah mereka. Para bawahan Ezra yang menyaksikan hal tersebut, tak henti-hentinya menahan senyum.

"Mas yang salah. Dekilah tidak ikut-ikutan. Yayah hukum Mas saja. Jangan Dekilah!" ucap Ezkara mantap.

"Tapi kalian berdua yang bersalah. Sangat tidak adil jika Yayah hanya menghukum salah satunya," timpal Ezra membuat Ezkyla semakin merapatkan tubuh pada kembarannya.

Kemarahan Ezra adalah hal yang sangat ditakuti oleh Ezkyla. Anak perempuan itu akan langsung menangis jika ayah mereka meninggikan suara. Akan tetapi, saat ini Ezra masih berbicara santai meski terkesan datar dan dingin.

"Adil kok. Kalo Yayah potong uang jajan Mas selama seminggu, berarti Yayah harus menambah uang jajan Dekilah," seloroh Ezkara membuat sang ayah mengerutkan kening bingung.

"Mengapa begitu?"

"Iyalah! 'Kan nanti Mas minta uangnya ke Dekilah. Bukan ke Yayah!!" Ezkara merengut saat orang-orang yang berada di ruangan ini tertawa lepas. Termasuk ayahnya. "Apa yang lucu? Kenapa pada ketawa, sih?!"

Ezra melambaikan tangan ke arah si kembar, tetapi mereka tak langsung mendekat. Ezkyla merasa ragu untuk menghampiri sang ayah karena rasa bersalah yang masih menghinggapinya. Sementara Ezkara, terlalu malas untuk melangkahkan kaki mungilnya. Berdiri hampir selama lima belas menit cukup membuat kakinya pegal.

"Baiklah. Yayah yang ke sana."

"Iyalah!! KBM! Kang butuh marek (yang butuh mendekat)!!" Ezkara mencebikkan bibirnya. Anak itu sudah terbiasa berbicara dengan bahasa campuran. Apalagi ia dibesarkan di kota udang—kampung halaman sang bunda. Maka tak aneh, jika dirinya berbicara bahasa daerah.

"Mas jangan teriak-teriak," tegur seorang wanita yang terbaring lemas di ranjang pesakitan.

"Maaf Bun." Ezkara menundukkan kepala—merasa bersalah karena telah meninggikan suara kepada sang ayah. "Oh iya, Mas baru ingat. Tadi di kantin Mas ketemu kakek-kakek yang wajahnya mirip Yayah loh, Bun...."

Ezra dan Elsye saling bertukar pandang. Semua yang terjadi hari ini adalah karena kelalaian mereka. Kondisi Elsye yang kurang baik membuatnya tak bisa bergerak bebas. Rasa perih dan nyeri pada luka di tubuhnya mengakibatkan Elsye terus terbaring tak berdaya. Namun, setelah mengetahui jika nona muda Evander dirawat di rumah sakit yang sama, Elsye dan suaminya pun memilih untuk kembali ke rumah.

Si kembar yang diajak menjemput sang bunda pun begitu bahagia. Ezkara yang melihat anak buah ayahnya yang tengah bertelepon hingga tak fokus mengawasinya pun segera keluar dari mobil. Berlari menerobos masuk ke dalam rumah sakit. Melewati lorong-lorong yang begitu panjang, hingga membawanya ke kantin rumah sakit. Ezkyla yang tersadar jika kembarannya kabur langsung berlari menyusul. Kemudian, Nana yang mendapat kabar jika tuan dan nona mudanya kabur, bergegas mencari keberadaan keduanya bersama yang lain.

"Yah, bantu Bunda bangun," pinta Elsye kepada suaminya.

"Sebentar." Ezra mengambil empat buah penutup wajah yang disodorkan oleh Nana. Mereka tak bisa menunjukkan wajah di tempat ini demi kelangsungan rencana yang telah disusun lama. Kemudian, ia memberi isyarat pada Nana dan yang lain untuk membawa pergi istri dan anak-anaknya lebih dulu.

EISHAYANG Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang